Dessy N. Farhany dan Agam Subarkah
Perwakilan WRI Indonesia untuk Inisiatif Clean Energy Investment Accelerator (CEIA)
Saat ini, dunia sedang dilanda pandemi Covid-19, yang turut menekan sektor ekonomi kita. Berbagai lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Dana Moneter Internasional (IMF), telah menyerukan agar negara-negara menyiapkan respons jangka panjang negara untuk mengatasi pandemi ini dan untuk mengatasi krisis iklim. Jika krisis iklim tidak sekaligus ditangani, dampak buruk bagi perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat akan dirasakan dalam jangka panjang.
Salah satu kontributor utama dalam krisis iklim adalah sektor energi, yang menurut data World Resources Institute (WRI) menghasilkan 73 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Polutan dari pembakaran bahan bakar di pembangkit berbahan bakar fosil, termasuk karbon monoksida (CO) dan sulfur dioksida (SO2), sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Pengelolaan sektor energi yang beralih dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan harus diutamakan.
Transisi menuju energi terbarukan dapat didukung oleh permintaan dari perusahaan dan sektor industri, yang mengkonsumsi 32 persen listrik di Indonesia. Banyak perusahaan multinasional di dunia, termasuk yang beroperasi di sini, punya target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Misalnya, lebih dari 240 perusahaan global yang tergabung dalam RE100 berkomitmen untuk melistriki fasilitas mereka dari sumber energi terbarukan. Sayangnya, perusahaan-perusahaan di Indonesia punya pilihan terbatas.
Saat ini, pilihan yang tersedia bagi perusahaan adalah memasang pembangkit di lokasi, seperti pembangkit listrik tenaga surya atap, atau mendirikan pembangkit listrik terintegrasi terpusat (off-grid). Namun pembangunan pembangkit terintegrasi ini punya masalah karena sumber energi terbarukan biasanya tidak tersedia di sekitar lokasi, khususnya di Pulau Jawa. Karena itu, perlu dipertimbangkan sebuah mekanisme yang dapat memudahkan transfer listrik dari sumber energi terbarukan ke fasilitas operasi perusahaan secara langsung atau disebut sebagai "power wheeling" atau pemanfaatan bersama jaringan listrik.
Skema power wheeling bukanlah hal yang asing karena telah banyak diterapkan di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Filipina untuk reformasi sektor energi menuju energi terbarukan (JICA, 2016). Di Indonesia, aturan dasar mengenai hal itu telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Penyediaan Tenaga Listrik dan Pemanfaatan Bersama Jaringan Tenaga Listrik. Namun masih terdapat beberapa tantangan dalam penerapannya.
Pertama, model bisnis untuk skema ini adalah transfer listrik bagi pemegang izin operasi untuk penyaluran ke perusahaan sendiri. Hal ini memungkinkan bagi perusahaan yang mampu membangun pembangkit sendiri walaupun jauh dari fasilitas perusahaan. Model bisnis lainnya adalah jual-beli listrik antara pembangkit listrik swasta dan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) di wilayah usaha yang berbeda. Namun sulit bagi swasta untuk memperoleh wilayah usaha karena sebagian besar sudah dipegang oleh PLN (di satu area hanya diperbolehkan satu pemegang wilayah usaha).
Keterbatasan ini dapat berdampak pada kurang masifnya transfer energi terbarukan untuk swasta. Padahal fleksibilitas bagi swasta untuk melakukan transaksi langsung dalam skema ini dapat meningkatkan pengembangan energi terbarukan dalam skala besar, ketika swasta dapat membantu menjamin suplai listrik dari sumber energi terbarukan serta menjaga pasokan dan tarif listrik. Untuk mengatasi hal ini, PLN perlu mengubah paradigma bisnis agar skema pemanfaatan bersama jaringan listrik dapat diterapkan secara luas, dari perencanaan pembangunan pembangkit, operasi sistem, hingga sasaran pelanggan.
Kedua, rincian skema ini banyak yang belum diatur dalam peraturan menteri tersebut, termasuk porsi keterlibatan setiap pihak dan petunjuk teknis mengenai harga sewa jaringan. Sebagai langkah awal untuk mengoptimalkan model bisnis ini, PLN dapat mulai menerbitkan petunjuk teknis mengenai formula harga sewa jaringan transmisi dan distribusi serta prosedur standar teknis penerapan pemanfaatan bersama jaringan listrik. Di sisi lain, Kementerian Energi harus berpartisipasi aktif dalam transparansi dan keadilan mengenai harga sewa jaringan untuk memberikan kepastian bagi PLN dan pelanggan.
Berdasarkan diskusi penulis dengan beberapa perusahaan, kemudahan dalam mendapatkan energi terbarukan belakangan ini menjadi salah satu faktor penentu investasi dari luar negeri. Negara tetangga, seperti Vietnam dan Filipina, telah mengambil langkah-langkah strategis dalam memenuhi kebutuhan keberlanjutan sektor industri, termasuk penerapan skema pemanfaatan bersama jaringan listrik. Cepat atau lambat, Indonesia harus tegas menentukan dan mendorong transisi menuju energi terbarukan untuk mengunci investasi asing.
