Irsyad Rhafsadi,
Peneliti Yayasan Wakaf Paramadina
Jumat, 22 Juli, 2011, dunia dikejutkan oleh ledakan di pusat kota Oslo yang diikuti penembakan brutal di Utoya, Norwegia. Sedikitnya 84 tewas dalam kedua serangan yang diduga berkaitan tersebut (Tempointeraktif, 23 Juli). Sempat terjadi simpang-siur seputar keterkaitan serangan tersebut dengan jaringan Al-Qaidah. Tapi kemudian pelaku penembakan, Anders Behring Breivik, 32 tahun, tertangkap dan teridentifikasi oleh polisi setempat sebagai ekstremis sayap kanan dan fundamentalis Kristen.
Breivik mengaku serangannya ditujukan untuk melawan kalangan migran muslim di Eropa dan pemerintah sayap kiri yang, menurut dia, membiarkan mereka. Seperti dilaporkan The New York Times (23 Juli), Breivik merencanakan serangan tersebut dalam manifesto berbentuk catatan harian sepanjang 1.500 halaman. Di situ dia menulis, "The time for dialogue is over. We gave peace a chance. The time for armed resistance has come."
Selain manifesto, Breivik dilaporkan sempat mengunggah video beberapa jam sebelum melancarkan aksinya. Di sana Breivik menyerukan "Perang Salib" untuk menyelamatkan Eropa dari ancaman dominasi muslim yang, menurut dia, keras dan otokratik. Ironisnya, usahanya sendiri justru dilakukan dengan kekerasan dan ditujukan kepada pemerintahan yang demokratis. Kebencian dan prasangkanya terhadap Islam tampaknya telah membutakan matanya dari tragedi dan ironi tersebut.
Bahaya Islamofobia
Islamofobia, atau prasangka, ketakutan, bahkan kebencian, terhadap muslim, telah ada di Barat sejak 1980-an. Akan tetapi istilah ini mulai umum digunakan pasca-serangan 11 September di AS oleh Al-Qaidah. Serangan ini membuat Islam menjadi pusat perhatian. Ada yang mempelajari Islam lebih dalam, tapi ada juga yang langsung menuduh Islam sebagai agama kekerasan.
Pengalaman teror dan pemahaman yang parsial tentang Islam melahirkan sejenis trauma dan fobia terhadap Islam. Islamofobia umumnya terejewantahkan dalam kata-kata, gambar karikatur, hingga aksi protes menolak kehadiran komunitas muslim dan segala hal yang berbau Islam.
Di Denmark, misalnya, Islamofobia terwujud dalam kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad sebagai barbar. Sedangkan di Amerika, Islamofobia terejawantahkan dalam berbagai protes. Penolakan terhadap komunitas muslim di California, Maret lalu; penolakan pembangunan atas masjid Tennessee; dan penolakan atas pembangunan Islamic Center di dekat ground zero Manhattan adalah salah satu contohnya.
Tak ada yang menduga sebelumnya bahwa Islamofobia bisa melahirkan aksi kekerasan seperti yang terjadi di Norwegia. Serangan di sana pun awalnya sempat dikaitkan dengan Al-Qaidah. Pengakuan Breivik pun membuka mata masyarakat Eropa akan bahaya Islamofobia. Islamofobia ternyata bukan sekadar perkataan, tapi bisa berupa tindakan dan bahkan kekerasan. Karena sadar akan bahayanya, kini mereka mulai memperingatkan dan berusaha mencegahnya.
Minggu (25 Juli), misalnya, marka #blamethemuslims menjadi trending topic Twitter global, atau hampir semua pengguna Twitter di seluruh dunia membicarakannya. #blamethemuslims adalah sarkasme bagi media yang melulu menyalahkan muslim untuk setiap peristiwa buruk di dunia. Di tengah suasana duka untuk warga Norwegia yang menjadi korban, kita di Indonesia mestinya bisa belajar bahwa kebencian dan prasangka terhadap suatu kelompok ras atau agama tertentu harus segera dihentikan.
Pelajaran untuk Indonesia
Di Indonesia, fobia terhadap suatu kelompok ras atau agama tertentu juga ada. Sekelompok muslim, misalnya, begitu mudah menyalahkan Yahudi dalam banyak hal. Fobia serupa terhadap etnis Cina meletus menjadi kekerasan pada 1998. Terakhir, kita tahu fobia terhadap para pemeluk Ahmadiyah berujung pada tindakan diskriminasi dan kekerasan.
Yang terjadi kemudian adalah saling membenci, mencurigai, dan "saling menyetankan". Jika kelompok muslim memelihara fobia terhadap kelompok lain, kelompok lain pun akan mengalami fobia serupa terhadap umat muslim. Fobia yang satu melahirkan fobia yang lain. Mengingat bahayanya, hal ini tak bisa terus-terusan disepelekan.
Peristiwa di Norwegia memberi pelajaran bagi kita di Indonesia. Pertama adalah pelajaran untuk media dan para pegiat hak asasi manusia. Islamofobia mesti dicegah dengan tidak melulu mengangkat sisi keras muslim, tapi juga praktek damai muslim. Kita perlu terus mewaspadai terorisme, tapi kita tak bisa gegabah menilai pesantren sebagai sarang teroris, misalnya.
Pelajaran kedua untuk umat muslim di Indonesia. Umat muslim umumnya tak akan menerima jika agamanya dianggap menyebarkan kekerasan. Begitu juga penganut agama lain. Kalau orang yang melarang pembangunan masjid di Amerika itu kita anggap salah, kenapa kita di sini meniru hal serupa dengan melarang pembangunan gereja?
Alih-alih saling curiga dan menghina, yang perlu kita lakukan adalah saling memahami dan bertenggang rasa. Kita tak terbiasa berdialog dengan orang dari suku atau ras berbeda, karena Orde Baru melarang segala hal berbau SARA. Sekaranglah saatnya untuk menghilangkan kecanggungan itu, bukan saling menonjolkan identitas kelompok dan menghina kelompok lain. Kita sudah tahu bahwa kecaman dan kebencian rentan berujung pada kekerasan.
Pernyataan Perdana Menteri Norwegia di konferensi pers pasca-ledakan menegaskan bahwa kekerasan tak mengubah apa pun. "Saya berpesan untuk orang yang menyerang kita dan mereka yang berada di balik ini," kata Jens Stoltenberg, "Tidak seorang pun mengebom kita agar diam, tidak seorang pun menembak kita agar diam." Kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Islamofobia dan fobia-fobia lainnya mesti segera dihentikan.