Sebulan lalu, JJ Rizal masih kerap menelepon Ajip Rosidi yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sejarawan sekaligus pemilik penerbit buku Komunitas Bambu itu berencana menerbitkan buku kumpulan sajak lengkap Ajip 1952-2006 dengan tebal sekitar 800 halaman. Tapi buku itu ternyata tidak akan pernah sampai ke tangan penulisnya. Ajip telah berpulang pada Rabu malam lalu.
“Itu janji saya. Belum sempat terbit karena tersandung pandemi. Padahal, buku yang dikerjakan sejak tiga tahun lalu itu tinggal menunggu pengantar dari dia,” ujar Rizal kepada Tempo, Kamis lalu.
Buku kumpulan sajak itu direncanakan diluncurkan tepat pada hari lahirnya pada 31 Januari tahun depan. Menurut Rizal, Ajip sempat meminta agar kumpulan sajaknya segera diluncurkan di tengah situasi pandemi. Namun Rizal berpendapat penerbitan karya lengkap itu perlu dirayakan. Sebab, menurut dia, Ajip salah satu sosok penting dalam dunia sastra dan budaya Tanah Air.
Ajip lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Ia tidak menyelesaikan pendidikannya hingga di Taman Madya (tingkat SMA) di Taman Siswa Jakarta. Kiprahnya dalam sastra Indonesia dimulai sejak 1952 dengan menulis puisi, cerita pendek, roman, hingga drama. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, ia menulis dalam bahasa Sunda. Buku pertamanya terbit ketika Ajip baru menginjak usia 17 tahun pada 1955 dengan judul Tahun-tahun Kematian.
Hingga kini, tak kurang dari 110 judul buku telah lahir baik berbahasa Indonesia ataupun Sunda. Beberapa di antaranya adalah kumpulan puisi Pesta (1956), Tjari Muatan (1959), Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (puisi bahasa Sunda, 1967), Sajak-sajak Anak Matahari (1979), dan Nama dan Makna (1988). Kumpulan cerpennya antara lain Tahoen-tahoen Kematian (1951) dan Pertemuan Kembali (1962). Novelnya, Perjalanan Pengantin (1958) dan Anak Tanah Air (1985).
Adapun buku non-fiksinya antara lain Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995), Masa Depan Budaya Daerah (2004), Korupsi dan Kebudayaan (2006), dan Ensiklopedi Sunda (2000). Ia pernah menerima Hadiah Sastera Nasional untuk puisi (1955-1956) dan prosa (1957-1958). Pada 1993 ia mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah RI. Pada 2011, ia memperoleh gelar doktor kehormatan (honoris causa) bidang budaya dari Universitas Padjadjaran.
Rizal mengenal Ajip sebagai budayawan tanpa pamrih. Hampir seluruh hidup dan harta Ajip dicurahkan untuk sastra dan kebudayaan. Salah satu bentuk kecintaannya kepada sastra dan kebudayaan adalah mengabdikan diri pada pengelolaan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang berkantor di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Pak Ajip rela pergi-pulang antara Jakarta-Magelang hanya untuk mengurus PDS HB Jassin,” tutur Rizal lagi.
Salah satu harapan yang belum sampai, ujar Rizal, adalah mewujudkan PDS HB Jassin menyatu dengan pusat museum sastra seperti yang ia impikan.
Hal senada dikisahkan Ariany Isnamurti, mantan Kepala Pengelola PDS HB Jassin. Menurut Ariany, Ajip sangat peduli atas eksistensi dan pelestarian dokumentasi dan koleksi sastra. Ia sering mencari dokumen di PDS dan rajin menyerahkan karya-karyanya untuk disimpan di sana. “Ucapan beliau yang masih terngiang sampai kini bahwa ia sangat heran apabila ada orang yang tak suka membaca,” ujar Ariany.
Meski kemudian pengelolaan diserahkan kepada pemerintah DKI Jakarta, Ariany berujar, semasa hidupnya Ajip masih memberikan perhatian besar pada PDS HB Jassin. Ajip berharap PDS bisa ikut berkembang, misalnya lewat layanan digital, seiring dengan rencana revitalisasi Taman Ismail Marzuki.
Ajip juga sangat peduli terhadap sastra berbahasa daerah, terutama sastra Sunda. Dalam pengantar autobiografi Ajip berjudul Hidup tanpa Ijazah, penulis sekaligus peneliti sastra, Henri Chambert Loir, bercerita Ajip terus berjuang membangkitkan kembali kesusastraan Sunda, baik melalui majalah, penerbitan, pertemuan, hingga hadiah. “Barangkali saja tidak ada orang lain di seluruh Indonesia yang berjuang dengan begitu gigih untuk menghidupkan kesusastraan dalam bahasa ibunya,” tutur Henri.
Ajip sempat pindah ke Jepang pada 1980 selama kurang lebih 20 tahun. Ia mengajar bahasa Indonesia di Osaka Gaidai sebagai dosen tamu. Meski puluhan tahun tinggal di Negeri Sakura, Ajip masih memikirkan kesusastraan Tanah Air. Pada 1988, Ajip menggagas Hadiah Rancagé sebagai bentuk penghormatan pengarang Sunda untuk buku sastra yang baru diterbitkan.
Selanjutnya, Hadiah Rancage berkembang dengan memberi penghargaan kepada karya sastra dalam bahasa lain, seperti pengarang Jawa dan Bali. “Buat Ajip, masalah bahasa dan sastra daerah bukan masalah masing-masing daerah, melainkan masalah nasional,” begitu Henri menuliskan.
Untuk keberlangsungan melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah, pada 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancagé bersama Erry Riyana Hardjapamekas, Edi Suhardi Ekadjati, dan beberapa tokoh lainnya. Erry mengatakan saat itu bersedia bergabung karena ia memiliki kekhawatiran yang sama dalam kelestarian kebudayaan daerah yang mulai tergerus akibat globalisasi.
“Kekhawatiran kami ternyata jadi kekhawatiran semua. Bahkan, UNESCO (organisasi kebudayaan internasional) juga bilang perlunya memelihara bahasa ibu. Kepedulian kami tak hanya sastra tapi kebangsaan, negara, termasuk tentang korupsi,” ujar Erry, yang mantan salah satu pemimpin KPK itu. Sebelum dinaungi yayasan, Erry bercerita, Ajip membiayai sendiri penghargaan itu.
Menurut Erry, Ajip memang dikenal sebagai sosok yang memiliki solidaritas tinggi, terutama yang menyangkut soal sastra dan budaya. “Pak Ajip bahkan pernah membantu teman-teman seniman yang belum mendapatkan nama, namun produktivitas terkendala uang. Dia sering mengirimi alat lukis dari Jepang untuk pelukis pemula,” ujar Erry.
Adapun sastrawan Eka Budianta mengenal Ajip sebagai salah satu sastrawan paling produktif di Tanah Air. Tak hanya itu, Eka mengatakan, Ajip mapan secara ekonomi. Jadi, menurut Eka, kesusastraan tidak harus dikaitkan dengan hidup berkekurangan. “Tidak ada konsep bahwa pengarang itu kere, tapi kaya dan hatinya besar. Ajip mengajari untuk selalu memberi dan terus memberi.” ***
Larissa Huda