JAKARTA — Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya telah direvisi pada 2016. Namun hasil revisi ini tidak mengurangi pemidanaan menggunakan pasal-pasal karet UU ITE. Pemidanaan dengan memanfaatkan pasal seputar pencemaran nama dan ujaran kebencian tetap marak.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, mengatakan pangkal masalah masih banyaknya pemidanaan ini adalah tidak tuntasnya revisi UU ITE pada 2016. Menurut dia, revisi itu tidak menyentuh substansi hak asasi manusia dalam aktivitas di ranah daring.
Akibatnya, UU ITE masih memuat ketentuan yang multitafsir sehingga berisiko melanggar kebebasan warga negara untuk berekspresi. "Revisi UU ITE pada 2016 bisa dikatakan sebagai revisi terbatas karena pemerintah dan DPR belum mampu sepenuhnya mengintegrasikan berbagai komitmen dan prinsip HAM dalam materi undang-undang," kata Wahyudi, kemarin.
Ia mengatakan, jika saat ini pemerintah mewacanakan perubahan UU ITE, prosesnya harus dilakukan secara menyeluruh. Revisi semestinya turut menyentuh persoalan pengaturan platform digital hingga pasal-pasal yang berkaitan dengan cyber dependent crime, misalnya pencurian data dan phising.
Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan arahan terkait penegakan UU ITE dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, 15 Februari 2021. BPMI Setpres/Lukas
Ide revisi UU ITE bergulir setelah Presiden Joko Widodo memberikan arahan dalam rapat tertutup dengan pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI di Istana Negara, Senin lalu. Melalui akun Twitter-nya, Jokowi menegaskan bahwa DPR perlu mengubah UU ITE jika menimbulkan rasa ketidakadilan. "Semangat awal UU ITE ini adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika, dan produktif," katanya. Wacana ini juga didukung oleh mayoritas fraksi di parlemen.
Pertimbangan tersebut bukan pertama kali dipakai pemerintah sebagai dalih untuk merevisi UU. Sejak awal 2015, pemerintah merencanakan perubahan UU ITE. Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, mengatakan revisi mempertimbangkan banyaknya kasus pencemaran nama dan penghinaan melalui informasi elektronik. Rudi menilai hal itu membuat masyarakat tidak bebas berekspresi. "Agar netizen enggak khawatir lagi dengan Pasal 27," ucapnya.
Namun pemerintah tidak menghapus pasal tersebut, tapi hanya mengubah ancaman sanksi yang dianggap terlalu tinggi. Misalnya, dalam UU ITE yang disahkan pada 2008, pencemaran nama di ranah digital diancam dengan penjara maksimal 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Ancaman tersebut jauh lebih tinggi daripada tindak pidana serupa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rudiantara beralasan bahwa pengurangan sanksi menjadi langkah yang ditempuh karena pasal terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama tidak mungkin dihapuskan. Hal itu bertujuan memberikan efek jera kepada pelanggar hukum. Dia merasa aspek yang perlu diperbaiki adalah penerapan pasalnya.
Pemerintah mengirim naskah RUU pada Desember 2015. Setelah dua kali rapat kerja dan lima kali rapat panitia kerja, perubahan UU disahkan dalam rapat paripurna DPR pada November 2016. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik proses perumusan revisi dalam pertemuan ini lantaran tidak melibatkan publik karena dihelat secara tertutup.
Sejumlah aturan pidana dalam UU ITE pun berubah. Misalnya, regulasi menjadikan tindakan penghinaan atau pencemaran nama melalui konten elektronik sebagai delik aduan. Ancaman hukumannya juga dipangkas menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.
Syaifullah Tamliha. Dok Tempo/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Faktanya, hasil revisi UU tidak berjalan sesuai dengan harapan pemerintah. Selama 2016-2020, ICJR mencatat tingkat penghukuman dari Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen atau 744 perkara, serta tingkat pemenjaraan sebanyak 676 perkara. Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyimpulkan mayoritas terhukum dari penegakan pasal-pasal itu adalah jurnalis, aktivis, ataupun warga yang menyampaikan kritik.
Anggota Komisi I DPR, Syaifullah Tamliha, mengakui proses revisi UU ITE pada 2016 sangat terbatas. Pemerintah sebagai pengusul perubahan tidak mau memperlebar poin revisi. "Itu berakibat masih terdapat pasal karet yang perlu direvisi lagi," kata Syaifullah, yang menjabat Wakil Ketua Komisi I DPR periode 2014-2019. "Kami tentu sangat setuju atas gagasan Presiden Jokowi untuk kembali merevisi UU ITE," ujar dia.
Meski demikian, hingga saat ini mayoritas fraksi di DPR masih melempar bola revisi dari pemerintah. Padahal, berdasarkan program legislasi nasional 2020-2024, revisi UU ini merupakan program inisiatif DPR.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik, Juri Ardiantoro, mengatakan pemerintah menyilakan DPR merevisi UU ITE dengan alasan undang-undang adalah produk bersama pemerintah dan DPR. "Jika ada usaha revisi, silakan DPR bisa berinisiatif," kata dia.
MAYA AYU PUSPITASARI | ROBBY IRFANY