JAKARTA– Anggota Panitia Seleksi Komisioner Komisi Yudisial, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan satu dari tujuh calon komisioner KY yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat berlatar belakang pegiat di kelompok masyarakat sipil. Calon komisioner yang dimaksud adalah Binziad Kadafi, anggota supervisory board dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.
“Ia aktif dalam kegiatan membangun sistem peradilan yang transparan dan akuntabel,” kata Edward, kemarin.
Ia mengatakan panitia seleksi sudah melakukan proses seleksi yang ketat. Awalnya, mereka menerima 120 berkas pendaftaran sampai akhirnya menemukan tujuh kandidat komisioner. Ketujuh nama calon komisioner KY periode 2020-2025 itu adalah Joko Sasmito, M. Taufiq H.Z., Sukma Violetta, Bin Ziyad Khadafi, Amzulian Rifai, Mukti Fajar Dewata, dan Siti Nurjanah. Joko dan Taufiq berasal dari unsur mantan hakim, Sukma dan Binziad dari unsur praktisi hukum, Amzulian dan Mukti dari unsur akademikus, sedangkan Siti Nurjanah dari unsur masyarakat.
Menurut Edward, panitia seleksi puas terhadap nama-nama yang terpilih sebagai calon komisioner. Sebab, sejak awal mereka memperlihatkan berbagai keunggulan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan panitia. Kriteria itu seperti berintegritas, memiliki kemampuan manajerial, inovatif, komunikatif, mampu bekerja dalam tim, berprinsip, dan tak mudah diintervensi.
Bagi panitia seleksi, kata Edward, semua kriteria tersebut sangat penting untuk memperbaiki kinerja Komisi Yudisial di masa mendatang. Ia berharap para calon yang terpilih nantinya dapat melakukan konsolidasi di lingkup internal KY, membangun komunikasi intensif dengan Mahkamah Agung, serta berinovasi dalam menciptakan sistem pengawasan yang akurat, bermartabat, dan elegan.
Panitia seleksi membuka pendaftaran komisioner KY pada April lalu. Kemudian, panitia dua kali memperpanjang masa pendaftaran karena jumlah pendaftar yang minim. Hingga pendaftaran ditutup pada 12 Juni lalu, panitia menerima 120 pendaftar. Dari jumlah ini, hanya 108 orang yang lolos seleksi administrasi. Tahapan berikutnya, panitia menggelar seleksi tertulis, membuat makalah, uji publik, dan asesmen profil. Lalu terpilih tujuh nama kandidat.
Sekretaris Jenderal Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, dari pantauan lembaganya, ada beberapa orang pegiat antikorupsi atau pemantau peradilan yang ikut seleksi, tapi tidak lolos. Dari pantauan lembaganya, mereka gagal karena tidak bisa meyakinkan panitia bahwa mereka memiliki perspektif yang adem.
Julius berpendapat panitia seleksi melihat pendekatan bahwa komisioner KY ke depan harus diplomatis, tapi bukan kompromistis. Tujuannya, agar tidak menciptakan ego sektoral.
“Pendekatan pansel ini bagi kami sudah pas sekali dengan kondisi obyektif KY saat ini,” katanya. Ia mengimbuhkan, KY membutuhkan komisioner yang diplomatis karena lembaga ini bertugas mengawasi peradilan dan hakim serta rekrutmen hakim agung.
Koordinator Public Interest Lawyer Network (PILNET) Indonesia, Erwin Natosmal Oemar, mengatakan pegiat kelompok masyarakat sipil pemantau peradilan tidak banyak yang mendaftar karena terhambat batas usia, yaitu minimal berusia 45 tahun. Mereka juga khawatir karena ukuran terakhir penilaian berada di DPR, yang lebih condong pada standar politik dan bukan rekam jejak. Ia mencontohkan ketika dosen Universitas Indonesia, Wiwiek Awiati, gagal lolos menjadi komisioner KY pada 2015.
Menurut Erwin, kala itu Wiwiek adalah Koordinator Tim Pembaharuan Mahkamah Agung dan akademikus, serta pernah aktif di Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). “Di ujung, ia ditolak tanpa penjelasan,” katanya.
DIKO OKTARA
Sedikit Pegiat Peradilan Ikut Seleksi KY karena Syarat Usia