JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia menganggap harga pemeriksaan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) terlampau mahal. Tarif termahal tes ini mencapai Rp 5 juta per orang sekali tes.
Anggota Ombudsman, Alvin Lie, mengatakan sejumlah rumah sakit mematok tarif uji usap (swab) yang berbeda. Rekor termahal mencapai Rp 5 juta untuk sekali tes. Hasil tes tersebut rampung hanya dalam waktu beberapa jam.
Lalu harga termurah sekitar Rp 1 juta sekali tes. Hasil tesnya terbit dalam waktu yang lama, yaitu 3-5 hari. Variasi harga ini tak jauh berbeda dengan pengamatan Alvin pada Juni lalu. “Seharusnya harganya berpeluang lebih murah karena industri sudah menggenjot untuk meriset dan mengembangkan mesin deteksi virus,” katanya, kemarin.
Sesuai dengan kalkulasi Alvin, biaya pemeriksaan Covid-19 bisa ditekan hingga Rp 500 ribu sekali tes. Patokan tarif itu berdasarkan harga komponen reagen sekitar US$ 20-25 atau sekitar Rp 300-400 ribu per unit serta peralatan lainnya, termasuk investasi alat tes dan sumber daya manusia. "Dengan harga Rp 500 ribu, seharusnya penyedia jasa sudah untung,” ujarnya.
Menurut Alvin, margin besar yang dipatok rumah sakit berhulu dari persoalan minimnya laboratorium pendeteksi virus. Masalah ini sendiri membuat jumlah tes PCR di Indonesia masih jauh di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sesuai dengan standar WHO, tes Covid-19 seharusnya menyentuh 152 ribu orang per hari di Pulau Jawa. Sementara itu, per Juli lalu, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat kapasitas pemeriksaan laboratorium di kawasan ini baru mencapai 21,7 ribu orang per hari.
Menurut Alvin, kebutuhan tes PCR semakin tinggi karena sebagian besar badan usaha membutuhkan pemeriksaan tes ini secara cepat untuk pegawainya. Kebutuhan itulah yang diduga dimanfaatkan rumah sakit untuk mematok tarif yang tinggi.
Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengakui bahwa tarif tes yang mahal membuat masyarakat enggan melakukan pemeriksaan usap secara sukarela. Ia mengatakan pertimbangan itu yang mendorong pemerintah hendak mengatur harga tes swab bagi masyarakat umum. "Agar harganya tak terlalu tinggi," kata Wiku.
Alvin sependapat dengan rencana pemerintah ini. Tapi ia menyarankan agar pemerintah menggalakkan pengadaan alat tes, terutama bagi pihak swasta, sebelum mengatur tarifnya. Caranya, pemerintah membebaskan bea masuk dan melonggarkan pajak impor alat tes selama pandemi. Kementerian Kesehatan juga perlu mengatur standar mesin tes, peralatan pendukung, dan sumber daya manusia.
Juru bicara Ikatan Dokter Indonesia, Halik Malik, membenarkan bahwa harga uji usap saat ini terlampau mahal. Idealnya, kata dia, tarif tes tersebut tak sampai Rp 1 juta sekali pemeriksaan.
Ia mengatakan deteksi dini virus corona akan semakin lambat karena masyarakat enggan memeriksakan diri. Dengan demikian, pemerintah perlu mengintervensinya dengan jalan mengatur harga tes swab. "Voluntary testing perlu didorong. Jika ada subsidi atau penetapan tarif, barangkali akan membantu," kata Halik.
Halik juga mengingatkan agar pemerintah menjamin ketersediaan alat tes secara merata di seluruh daerah. Sebab, kapasitas tes daerah di luar Jakarta tiga kali lebih rendah dibanding di Ibu Kota.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Ichsan Hanafi membenarkan bahwa harga tes Covid-19 di sejumlah rumah sakit relatif mahal. Ia berdalih kondisi ini terjadi karena keterbatasan kapasitas laboratorium dan permintaan pemeriksaan yang tinggi. "Hukum ekonomi berlaku. Makanya, mungkin tempat-tempat pemeriksaan harus diperbanyak," katanya.
EGI ADYATAMA | ROBBY IRFANY
27