JAKARTA – Komite Keselamatan Jurnalis menduga serangan peretasan ke sejumlah situs berita online dan akun media sosial para pegiat demokrasi dalam sepekan terakhir semakin masif dan sistematis. Kesimpulan itu dikuatkan dengan jumlah media massa yang menjadi korban peretasan serta dampaknya.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin mengatakan ada lima portal berita online yang dilaporkan mengalami peretasan. Dua di antaranya adalah Tempo.co dan Tirto.id. "Serangan digital dalam waktu singkat ke beberapa media ini artinya masif dan diduga sistemis," kata Ade, kemarin.
Ade menduga peretasan ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan obat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), yang dibuat oleh tim Universitas Airlangga bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat dan Badan Intelijen Negara (BIN). Dugaan itu mengacu pada pola peretasan serupa.
Ia mencontohkan, pelaku meretas berita di Tirto.id yang menyoal pengembangan kombinasi obat tersebut. Berita dengan judul “Soal Obat Corona: Kepentingan BIN & TNI Melangkahi Disiplin Sains” itu sempat menghilang dari laman Tirto.id. Peretas juga sempat mengacak-acak isi berita ini, lalu menggantinya dengan artikel lain.
Menurut Ade, kecenderungan peretas menyerang berita yang bernada kritis kepada pemerintah patut dipertanyakan. Dengan demikian, pemerintah harus bersikap atas peretasan tersebut. "Negara harus aktif, dan sampai saat ini kami lihat belum ada sedikit pun respons dari negara terhadap kasus peretasan ini," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia Wahyu Dhyatmika mengatakan, dari lima laporan yang masuk ke lembaganya, ada satu media yang menginformasikan bahwa website-nya tidak diretas. Empat media lainnya, seperti Tirto.id dan Tempo.co, mengakui adanya peretasan. Saat ini, lembaganya mengawal kasus tersebut.
Menurut Wahyu, peretasan terhadap media massa merupakan masalah yang sangat serius. Misalnya, kata dia, jika peretas berhasil menghapus semua database media yang bersangkutan, situs berita itu bisa tutup dalam beberapa hari. Imbasnya, masyarakat kehilangan hak untuk mendapatkan akses informasi. "Kami mengutuk keras modus seperti ini karena ini menutup informasi publik kepada media," katanya.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menduga peretasan ini terjadi secara terstruktur dan terencana karena korban peretasan adalah media yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah. "Pasti peretasan ini dilakukan oleh mereka yang punya niat menyerang media," katanya.
Ia menganggap peretasan ini seolah-olah bertujuan untuk memperingatkan pekerja media agar tidak lagi mengkritisi kebijakan pemerintah. Lalu ada kesan lain yang muncul karena pemerintah terkesan diam atas peretasan tersebut. “Kalau pemerintah membiarkan praktik ini, kami layak punya kecurigaan bahwa pemerintah punya andil di belakang aksi peretasan,” ujar Abdul Manan. “Pemerintah punya kewajiban menjelaskan kepada publik bahwa mereka bukan pihak di balik peretasan dengan mengusut tuntas kasus ini.”
Selain media, peretasan terjadi pada website Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Peretasan itu menyebabkan terhapusnya sejumlah folder dan konten lembaga yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah dalam menangani pagebluk. Lalu akun Twitter epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, juga diretas. Juru wabah itu membiarkan akunnya diambil alih dan membuat akun Twitter baru. “Mati satu tumbuh seribu,” katanya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate tidak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Adapun Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono, memastikan akan menyelidiki peretasan itu jika mereka melapor ke lembaganya. "Akun siapa pun yang diretas dan dilaporkan, akan dilakukan penyelidikan," katanya.
MAYA AYU PUSPITASARI
29