JAKARTA – Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menyatakan sebagian besar dari 38 orang elite masyarakat yang mengikuti survei menilai kondisi demokrasi di Indonesia sedang menurun. Hanya sedikit responden yang menganggap kondisi demokrasi mengalami kemajuan.
Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan 44,7 persen responden berpendapat bahwa demokrasi sedang merosot. "Bahkan 28,9 persen responden menilai kita telah berada dalam masa otoritarianisme," ucap Wijayanto, kemarin.
Survei ini dilakukan terhadap 38 peserta Sekolah Demokrasi II LP3ES. Para peserta pelatihan yang bekerja sama dengan Universitas Diponegoro ini berlatar belakang akademikus, elite politik, anggota parlemen di daerah, peneliti, tokoh masyarakat, penyelenggara pemilihan umum, mahasiswa, dan pegawai negeri sipil. Survei dilaksanakan mulai 16 hingga 21 Agustus lalu.
Dalam survei tersebut, Wijayanto juga menemukan penyebab kemunduran demokrasi. Menurut dia, terdapat 31 masalah yang membuat demokrasi merosot. Sebanyak 21 di antaranya muncul dalam survei dan 10 muncul dalam diskusi terfokus. “Temuan ini mengarah pada adanya indikasi bahwa demokrasi di Indonesia sedang berputar balik ke arah rezim otoritarianisme,” ujar Wijayanto.
Masalah itu dibagi oleh Wijayanto ke dalam empat kelompok, yakni struktural, institusional, kultural, dan agensi. Semua kelompok memiliki masalah yang dapat merusak demokrasi. Ia mencontohkan, masalah struktural berupa masifnya korupsi politik, oligarki politik, oligarki media massa, dan kesenjangan ekonomi.
Wijayanto menyebutkan oligarki politik timbul akibat banyaknya wilayah yang dipimpin berdasar monopoli keluarga. Perilaku politik dinasti itu diperparah oleh adanya oligarki politik yang tercipta melalui penumpukan kekuasaan dan kekayaan di tangan segelintir elite politik.
LP3ES juga menemukan faktor agensi berupa hilangnya oposisi, ancaman kebebasan berpendapat, ancaman kebebasan berserikat, imunitas terhadap pelanggar hak asasi manusia, intoleransi atau anjuran terhadap tindak kekerasan, teror cyber terhadap kelompok kritis, dan kriminalisasi aktivis.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Wiratraman, menyatakan serangan cyber terhadap aktivis, akademikus, dan media massa pengkritik pemerintah berdampak serius pada iklim demokrasi. "Itu merupakan pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat, sekaligus kebebasan pers," tutur dia.
Menurut Herlambang, orang atau lembaga yang diretas sesungguhnya tengah berupaya mencari kebenaran dalam koridor keilmuan. Hal ini diatur dalam Hak Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Karena itu, ia menganggap, serangan terhadap pengkritik pemerintah merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Herlambang juga menuntut pemerintah melindungi dan menghormati kebebasan ekspresi, berpendapat, akademik, serta kebebasan pers. Menurut dia, persekusi, teror, doxing (membeberkan data pribadi), dan pembungkaman semakin kuat pada saat pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang menghadapi pandemi Covid-19.
“Hal yang paling menyedihkan, kasus-kasus pembungkaman tersebut tidak pernah diusut secara tuntas,” ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menyatakan demokrasi di Indonesia semakin terancam gara-gara ulah pendengung yang terus dibiarkan melakukan pembungkaman. "Siapa pun yang memakai buzzer, apalagi kalau itu institusi negara, maka mereka sedang menghancurkan partisipasi publik dan demokrasi," ucap dia.
Menurut dia, pendengung lahir karena dibayar untuk mengebiri pendapat dan memanipulasi publik. Asfinawati khawatir gejala ini akan berdampak serius pada demokrasi. Apalagi pendengung memandang semua persoalan sebagai produk komersial. Masalahnya, kata dia, hal-hal yang didengungkan oleh buzzer adalah produk kebijakan publik yang mengikat warga negara.
AHMAD FIKRI | AVIT HIDAYAT
29