JAKARTA – Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan lima modus korupsi yang terjadi di perguruan tinggi. Lima modus itu adalah pengadaan barang dan jasa, dana hibah, dana penelitian, anggaran internal perguruan tinggi, serta sumbangan pendidikan.
Peneliti ICW, Siti Juliantari, mengatakan temuan lima modus korupsi di perguruan tinggi ini merupakan hasil kajian lembaganya periode 2015-2019. Selama empat tahun, ICW mencatat ada 202 kasus korupsi yang melibatkan 465 orang yang terjadi di sektor pendidikan. "Dari ratusan kasus itu, sebanyak 20 kasus atau sekitar 10 persen terkait dengan korupsi di perguruan tinggi dengan kerugian negara mencapai Rp 81,9 miliar," kata Siti, kemarin.
Ia mengatakan pola korupsi yang sering terjadi adalah pengadaan barang dan jasa. Siti mencontohkan kasus dugaan korupsi pembangunan gedung Institut Pemerintahan Dalam Negeri Gowa tahun anggaran 2011, pembangunan auditorium Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifudin Jambi, dan pembangunan gedung Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kuala Kurun. Siti mengatakan seluruh kasus tersebut menggunakan modus proyek fiktif.
"Selain lima pola itu, masih banyak bentuk korupsi di perguruan tinggi. Suap untuk dapat nilai, korupsi dana beasiswa, suap untuk mendapat akreditasi, sampai pemilihan pejabat di internal perguruan tinggi," katanya.
Tertangkapnya pejabat di Universitas Negeri Jakarta serta Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Mei lalu menambah daftar panjang kasus dugaan korupsi di sektor pendidikan. Kasus itu ditengarai bermula dari adanya permintaan Rektor UNJ kepada dekan fakultas dan lembaga kampus untuk mengumpulkan uang yang akan diberikan kepada pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan sebagai tunjangan hari raya (THR). Dalam tangkap tangan ini, KPK menyita uang sebesar Rp 44,3 juta. Tapi KPK melimpahkan kasus ini ke kepolisian dengan alasan tak ditemukan adanya penyelenggara negara yang terlibat.
ICW mengkritik pelimpahan kasus tersebut. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan KPK sudah secara terang menyebut dugaan keterlibatan rektor UNJ sebagai pemberi instruksi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, pimpinan perguruan tinggi negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Rektor Universitas Negeri Jakarta juga terbukti menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara ke KPK.
"Poin-poin di atas seharusnya dapat membantah pola pikir KPK yang mengatakan tidak ada keterlibatan penyelenggara negara dalam tangkap tangan ini," kata Kurnia.
Lebih lanjut, Siti mengatakan kasus korupsi di sektor pendidikan tidak hanya berdampak pada hilangnya uang negara, tapi juga pada akses, kualitas, dan keadilan pendidikan. "Korupsi dapat berpotensi mengurangi akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, menurunkan kualitas dan pelayanan pendidikan, serta menyebabkan ketidakadilan," ujar Siti.
Juru bicara KPK di bidang pencegahan, Ipi Maryati Kuding, mengatakan korupsi di dunia pendidikan selalu menjadi keprihatinan tersendiri lembaganya. Ia mengatakan KPK telah melakukan segala kajian dalam upaya mencegah korupsi di sektor ini sejak 2009.
Ipi mengatakan KPK tak pernah absen memberikan rekomendasi kepada lembaga pendidikan untuk menutup celah terjadinya korupsi. Rekomendasi itu antara lain perbaikan di level peraturan dan kebijakan, database, pengoptimalan sistem informasi dan teknologi, serta penanganan pengaduan masyarakat. “KPK berharap upaya-upaya pencegahan korupsi dengan perbaikan pada sistem, regulasi, dan tata laksana pada bidang pendidikan ini dapat menutup potensi korupsi dana pendidikan,” kata Ipi.
MAYA AYU PUSPITASARI