JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Presiden Joko Widodo tidak menandatangani draf peraturan presiden tentang pelibatan Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan tindak pidana terorisme. Sebab, rancangan pelibatan TNI ini dianggap menyimpang dari undang-undang dan berpotensi mengembalikan wajah TNI ke masa Orde Baru.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyatakan draf perpres tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Perpres itu akan membuat karakter TNI seperti TNI di zaman Orde Baru yang ke luar dari koridor negara hukum,” kata Choirul, kemarin.
Ia mengatakan rancangan perpres tersebut sangat berbahaya, rentan disalahgunakan, serta berpotensi menjadi alat untuk melakukan pelanggaran HAM seperti di masa lalu. Apalagi ada beberapa pasal dalam rancangan itu yang mengizinkan TNI untuk melakukan semua jenis operasi intelijen dan operasi lainnya.
Choirul berpendapat, seharusnya TNI hanya dibutuhkan dalam menangani terorisme ketika Kepolisian Republik Indonesia dianggap tidak mampu menanggulanginya. Lalu TNI diperbantukan dengan melakukan penindakan dalam level terbatas. “Hal itu diamanatkan dalam UU TNI dan UU Pemberantasan Terorisme,” kata dia.
Ia mengatakan lembaganya akan mengirim surat peringatan kepada Presiden Jokowi untuk tidak menandatangani perpres tersebut. Komnas HAM juga akan bersurat ke DPR untuk mendorong pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang tentang Perbantuan TNI dalam Penanganan Terorisme. Dengan UU itu nantinya, kata dia, mekanisme dan kewenangan TNI diatur secara detail.
Wacana penerbitan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme ini muncul sejak Mei 2018. Tapi rencana ini urung diwujudkan setelah masyarakat mengkritiknya. Wacana ini kembali mengemuka setelah pemerintah membuat draf perpres, lalu meminta pandangan DPR terhadap rancangan itu.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, Julius Ibrani, mengatakan isi draf perpres tersebut memperkenankan TNI melampaui kewenangan dengan masuk ke dalam sistem peradilan sipil. “Rancangan perpres itu justru memberi kewenangan untuk melanggar sistem peradilan pidana,” kata Julius.
Ia mengatakan sistem peradilan pidana memberi amanat kepada kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman sebagai penegak hukum dalam tindak pidana terorisme. Dengan begitu, pelibatan TNI dengan kewenangan seperti tercantum dalam rancangan perpres tersebut akan berpotensi merusak sistem peradilan umum. “Karena militer tidak tunduk dengan peradilan umum,” ujar dia.
Juru bicara Presiden bidang hukum, Dini Purwono, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal hal ini. Sebelumnya ia mengatakan pemerintah pasti akan mempelajari kritik masyarakat tersebut. “Saya dapati info dari tim, kalau draf perpres statusnya masih di Kementerian Pertahanan,” kata dia.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Agus Widjojo, mengatakan draf perpres tersebut berpotensi menyebabkan tumpang-tindih kewenangan antara TNI, Polri, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Ia menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 memang mengatur fungsi utama TNI sebagai pertahanan nasional. Tapi banyak pihak mendefinisikan fungsi tersebut secara lebih luas. “Pertahanan harus diartikan sebagai pertahanan dari ancaman militer luar negeri,” kata Agus.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | EGI ADYATAMA | AVIT HIDAYAT
Karpet Merah untuk TNI
Presiden Joko Widodo kerap membuat kebijakan yang dianggap mengembalikan dwifungsi militer. Salah satu di antaranya adalah rencana penerbitan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Berikut ini sejumlah kebijakan presiden yang memberi karpet merah buat TNI.
Januari 2018
Presiden Joko Widodo melantik Jenderal (Purn) TNI Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden, menggantikan Teten Masduki. Sebelumnya, Jokowi menunjuk Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar Pandjaitan sebagai Kepala Kantor Staf Presiden.
Februari 2018
Direktur Imparsial Al-Araf mengatakan adanya dwifungsi TNI setelah keluarnya kesepahaman antara TNI dan kepolisian dalam penanganan demonstrasi.
Mei 2018
Pemerintah merencanakan pembuatan peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme. Mulanya, rancangan ini diusulkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Juli 2019
Koalisi masyarakat sipil mengkritik rencana pembuatan perpres pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
Desember 2019
Presiden Jokowi mengumumkan nama-nama menteri yang menjadi jajaran di kabinetnya. Banyak di antaranya adalah para pensiunan jenderal militer. Mereka di antaranya adalah Letnan Jenderal TNI Terawan Agus Putranto, Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi, Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, hingga Jenderal (Purn) TNI Luhut Binsar Pandjaitan.
Januari 2020
Presiden Joko Widodo menaikkan anggaran TNI dari Rp 121 triliun pada 2019 menjadi Rp 131 triliun pada tahun ini.
April 2020
Koalisi masyarakat sipil mengkritik pemerintah ketika Presiden Joko Widodo mengumumkan darurat sipil. Presiden juga mengerahkan pasukan militer dan kepolisian untuk mengamankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar dan new normal.
Mei 2020
Presiden Joko Widodo mengirimkan draf perpres pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme ke DPR untuk meminta pandangan Parlemen.
AVIT HIDAYAT