JAKARTA - Tim kuasa hukum aktivis Ravio Patra melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Pelaporan ini dilakukan untuk membuktikan Ravio Patra tidak mengirimkan pesan hasutan dan provokasi kerusuhan ke sejumlah orang, seperti yang sebelumnya dituduhkan kepolisian.
Kuasa hukum Ravio, Era Purnamasari, menyatakan mulanya pihaknya melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Namun laporan ke Bareskrim ini urung dan kuasa hukum memilih membuat laporan ke Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Era tak menjelaskan alasan dialihkannya laporan polisi ini. "Kami pindah lapor ke Polda Metro Jaya dan sudah diterima," kata Era kepada Tempo, kemarin.
Pelaporan dilakukan oleh kuasa hukum untuk membuktikan aplikasi WhatsApp Ravio diretas beberapa saat sebelum peristiwa pengiriman pesan provokasi terjadi. Hal ini sekaligus ditujukan untuk menepis dugaan Ravio terlibat dalam tindakan provokasi, seperti yang dituduhkan polisi. Kepolisian pun mengklaim menelusuri kasus ini bersama Facebook untuk memastikan akun Ravio diretas.
Ahli forensik digital, Ruby Alamsyah, menyatakan motivasi peretas ponsel Ravio Patra sangat jarang terjadi di Indonesia. Sebab, kebanyakan peretasan terjadi karena motif ekonomi. "Kalau motif hasutan, provokasi, apalagi politis, sepanjang sepengetahuan saya itu dilakukan memakai teknik lain, misalnya memasang spyware (perangkat intai) di ponsel korban," kata Ruby, kemarin.
Kasus spyware biasanya dilakukan terhadap orang-orang penting dan menggunakan alat khusus. Dalam kasus Ravio, peretasan dilakukan dengan metode amatir namun dengan motivasi di luar kepentingan ekonomi.
Ruby juga membandingkan kasus yang dialami Ravio dengan peretasan yang dialami dua aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein dan Azhar Jusardi Putra. Menurut dia, kasus peretasan yang dialami Syahdan dan Azhar terjadi dengan tujuan meminta foto atau video tak senonoh dari korban. Kasus ini, kata dia, murni kejahatan biasa dari kelompok kriminal cyber untuk mendapat keuntungan ekonomi. Dalam sebulan terakhir, Ruby menerima 20 laporan kasus serupa.
Namun ia tidak menemukan motif ekonomi pada kejahatan yang dialami oleh Ravio. Untuk membuktikannya, pihaknya perlu memastikan apakah korban sempat mengirimkan SMS one time password (OTP) ke pelaku atau tidak. Jika Ravio tidak mengirimkannya, kuat dugaan ponsel korban terpasang malware (malicious sofrware) sehingga pelaku dapat membaca pesan OTP dari jarak jauh. Selain itu, kemungkinan kedua, SMS OTP diakses melalui operator seluler atau provider telepon.
Ruby juga menjelaskan beberapa cara untuk memastikan ponsel Ravio benar-benar diretas. Dalam forensik digital, kronologi peretasan yang dialami Ravio selama dua jam tersebut perlu diungkap. Pertama, melakukan analisis mobile forensic. "Utamanya dilakukan pengambilan data untuk dianalisis dalam kurun dua jam (peretasan)," ucap dia.
Kedua, kata dia, kepolisian dapat memastikannya melalui percakapan antara pihak WhatsApp dan Ravio melalui e-mail. Pihak WhatsApp akan membeberkan bukti-bukti adanya keganjilan yang diduga akibat peretasan. Di antaranya, akun WhatsApp telah diakses di tempat lain, menggunakan operator lain, dari lokasi yang lain, dan termasuk dari IP address lain. "Ketiga, adanya barang bukti SMS OTP yang dikirimkan oleh operator ke nomor ponsel Ravio," kata Ruby.
Koordinator Fraksi Rakyat Indonesia, Wahyu A. Perdana, menduga hal yang dialami Ravio adalah bagian dari pemberangusan kritik yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Menurut dia, sejumlah aktivis yang mengkritik kebijakan pemerintah, seperti Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan penanganan Covid-19, diretas. "Setidaknya terdapat empat pola, yaitu adanya intimidasi, peretasan, kriminalisasi, dan diawasi oleh aparat," ucap Wahyu.
AVIT HIDAYAT