JAKARTA Sejumlah organisasi pemantau hutan melayangkan protes ke Presiden Joko Widodo atas penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan, yang mencabut syarat dokumen V-Legal atau syarat lisensi ekspor produk kehutanan. Pencabutan syarat ini berpotensi menabrak undang-undang dan melegalkan ekspor kayu yang didapat dari hasil pembalakan liar.
Direktur Media dan Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra, menyatakan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada dua pekan lalu menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. "Peraturan itu menghilangkan instrumen syarat V-Legal, sehingga kayu ilegal bisa dengan mudah diekspor," kata dia kepada Tempo, kemarin.
Syahrul menjelaskan, peraturan itu mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Regulasi lama itu mengatur tentang kewajiban melampirkan dokumen V-Legal dalam setiap kegiatan ekspor kayu. Dokumen V-Legal juga harus diterbitkan oleh lembaga verifikasi legalitas kayu melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Syarat dokumen V-Legal ini digunakan sebagai salah satu standar lacak balak dan telah masuk dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini mulai dirintis pada 2003 sebagai upaya memberantas pembalakan ilegal. SVLK telah mendapat pengakuan dari Uni Eropa melalui lisensi Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT).
Menurut Syahrul, peraturan baru tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Undang-undang itu mewajibkan pemerintah mencegah perdagangan dan pencucian kayu ilegal. Peraturan Agus itu juga dianggap sebagai langkah mundur karena dapat mengancam industri yang memiliki legalitas. "Nilai ekspor mebel kayu Indonesia bergantung pada pasar yang meminta legalitas. Artinya, SVLK adalah kunci untuk meningkatkan nilai ekspor."
Ia khawatir, jika dokumen V-Legal dihapus dari syarat ekspor, praktik pembalakan ilegal akan meningkat. "Sekarang syarat V-Legal untuk ekspor dihapus. Ruang pencucian kayu haram semakin terbuka."
Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Muhamad Kosar, juga khawatir Uni Eropa akan memberikan sanksi bagi Indonesia karena membiarkan praktik pencucian kayu dan pembalakan ilegal terjadi. Apalagi Indonesia telah terikat dengan perjanjian perdagangan kayu secara sah dalam FLEGT. "Kalau Uni Eropa menjatuhkan sanksi embargo, sudah jelas akan merugikan industri kita," ucap dia.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga enggan merespons ketika diminta konfirmasi oleh Tempo. Ia mengarahkan Tempo untuk menghubungi Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. "Untuk itu bisa langsung ditanyakan ke Pak Mendag," tuturnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menjelaskan, pencabutan syarat V-Legal hanya diterapkan bagi produk kayu di sektor hilir, seperti furnitur dan kayu olahan. "Produk hulu bahan baku kayu sebanyak 42 HS (harmonized system) tetap diwajibkan, sehingga produk hilir secara otomatis harus menggunakan bahan baku yang sudah V-Legal," ujarnya.
Nurman juga menjelaskan bahwa aturan ini dibuat untuk mempermudah industri skala mikro, kecil, dan menengah dalam melakukan sertifikasi. Selain itu, dia menyatakan pengawasan di tingkat industri hulu akan ditingkatkan. "Yang harus diawasi adalah pembalakan liar dan penjual produk hulu."AVIT HIDAYAT
Organisasi Pemantau Hutan Memprotes Pencabutan Syarat Legal Kayu