JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi urusan kesehatan, Emanuel Melkiades Laka Lena, mengatakan lembaganya akan segera membentuk panitia kerja tentang tata kelola peredaran obat dan alat kesehatan. Ia mengatakan panitia kerja ini akan membahas upaya perbaikan pengelolaan peredaran obat dan alat kesehatan, yang selama ini ada di bawah kendali Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Komisi IX ingin memastikan tata kelola obat dan alat kesehatan memenuhi unsur kepatutan dan pertanggungjawaban publik yang benar," katanya, kemarin.
Politikus Golkar ini mengatakan Komisi Kesehatan mendapat laporan dari berbagai kalangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan pengelolaan peredaran obat dan makanan. Dugaan penyalahgunaan itu, antara lain, mengenai spesifikasi, kebutuhan obat dan alat kesehatan, serta harga obat yang mahal. "Jika dibiarkan, penyimpangan ini bisa merugikan konsumen dan negara yang bertanggung jawab dalam pengadaan barang dan jasa bagi masyarakat," kata Melkiades.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine Magdalene, mengatakan Kementerian akan bekerja sama dengan DPR untuk membenahi tata kelola peredaran obat dan alat kesehatan. "DPR sudah membentuk panitia kerja. Perbaikan tata kelola obat harus dibicarakan lagi," kata Engko.
Rencana Komisi Kesehatan membentuk panitia kerja ini merupakan respons atas kebijakan Kementerian Kesehatan, yang akan mengambil alih pengelolaan penerbitan izin edar obat dari BPOM pada pekan lalu. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan harga obat menjadi mahal karena prosedur penerbitan izin edar obat yang panjang. Agar harga obat menjadi murah, kata dia, Kementerian Kesehatan akan memangkas mekanisme penerbitan izin edar obat.
Menanggapi masalah ini, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan lembaganya sudah berusaha memperbaiki mekanisme terbitnya izin edar obat dengan mendigitalisasi pendaftaran izin edar obat. Selain itu, kata Penny, BPOM telah memotong waktu registrasi hampir 50 persen. Misalnya, proses registrasi obat pengembangan baru berkurang dari 100 hari menjadi 50 hari, obat baru dari 300 hari menjadi 100 hari, serta obat generik dari 150 hari menjadi 75 hari. Berdasarkan catatan BPOM, sebagian besar izin obat yang diterbitkan adalah obat non-generik bermerek dagang dan obat inovator.
"Waktu timeline sudah dipotong hampir 50 persen untuk jenis-jenis obat yang berisiko rendah dan sudah ada data-data yang diperlukan," ujarnya.
Penny menjelaskan, dalam proses penerbitan izin edar obat, BPOM tetap harus menguji kandungan obat dan membutuhkan rekomendasi khusus lain dari beberapa lembaga. Sebab, kedua proses itu berkaitan dengan faktor keamanan konsumen. "Obat itu produk berisiko tinggi. Jangan samakan dengan proses perizinan surat izin mengemudi yang bisa saja dua jam," ucapnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi, Darodjatun Sanusi, menyetujui rencana Komisi Kesehatan dan Kementerian Kesehatan untuk memperbaiki pengelolaan peredaran obat. Darodjatun bahkan mengusulkan agar dalam proses perbaikan ini, pemerintah memperluas daftar obat untuk program Jaminan Kesehatan Nasional dalam katalog elektronik. "Kami juga meminta ada keringanan pajak," tuturnya.ROBBY IRFANY
Dewan Akan Bentuk Panitia Kerja Tata Kelola Obat