JAKARTA - Aktivis hak asasi manusia mendesak Presiden Joko Widodo untuk menarik personel TNI dan kepolisian dari Kabupaten Nduga, Papua. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, mengatakan pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah tidak efektif untuk memulihkan situasi di Nduga. "Penarikan pasukan perlu dilakukan. Intinya, jangan menyelesaikan persoalan dengan pendekatan keamanan," kata dia, kemarin.
Asfinawati mengatakan konflik yang melibatkan kelompok bersenjata dengan militer merupakan buah dari pendekatan pemerintah yang keliru, terutama dalam aspek penegakan hukum. Aksi demonstrasi di Papua, dia mencontohkan, selalu berakhir pada jerat makar. "Penegakan hukum di Papua berbeda dengan daerah lain. Di saat bersamaan, pendekatan keamanan selalu mengorbankan masyarakat sipil," ujar dia.
Ia pun menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan dialog guna menyelesaikan konflik di daerah yang dianggap sebagai basis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tersebut. Menurut dia, pendekatan dialog berhasil dilakukan ketika pemerintah menyelesaikan konflik di Aceh yang melibatkan organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka pada 2005. "Sementara saat ini seperti masih ada keengganan menerapkan pendekatan dialog," kata dia.
Juru bicara Amnesty International Indonesia, Haeril Halim, mengatakan pemerintah perlu mendengarkan aspirasi masyarakat sipil di Kabupaten Nduga, yang meminta penarikan mundur aparat militer. Ia mengingatkan pemerintah agar dalam pengejaran Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), personel gabungan TNI-Polri bertindak proporsional.
Konflik di Nduga belum berakhir. Kontak senjata antara pasukan TNI-Polri dan kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kagoya itu berkali-kali terjadi. Korban tewas berjatuhan dari kedua pihak. Tak hanya itu, konflik selama setahun terakhir ini telah membuat puluhan ribu warga mengungsi.
Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua menyebutkan sebanyak 184 orang meninggal selama konflik yang terjadi sejak Desember 2018 itu. Penyebab kematian meliputi tembakan aparat TNI-Polri, kekerasan fisik, sakit, hingga ibu melahirkan di pengungsian. Jumlah ini lebih banyak dari rilis Kementerian Sosial yang menyebutkan korban meninggal sebanyak 53 orang pada periode yang sama.
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, mengatakan keberadaan TNI-Polri menjadi biang ketidakstabilan keamanan dan sosial di Nduga. Karena itulah, dia meminta Presiden menarik pasukannya untuk memulihkan keadaan. Menanggapi permintaan itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan pemerintah telah mencoba melakukan dialog dengan kelompok bersenjata untuk mengakhiri konflik di Nduga. Namun tawaran dialog tersebut selalu berakhir buntu. "Sudah beberapa kali diajak, malah yang ngajak ditembak-tembaki. Enggak benar itu," kata dia.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, membantah bahwa TNI-Polri menjadi biang ketidakstabilan keamanan di Nduga. Menurut dia, TNI-Polri telah memberikan jaminan keamanan sehingga masyarakat Nduga dapat beraktivitas normal. "Itu kan pendapat simpatisan KKB (kelompok kriminal bersenjata), yang tidak bisa leluasa mengintimidasi masyarakat dan mengontrol distriknya," ujar dia.
HALIDA BUNGA | FRISKI RIANA | ARKHELAUS WISNU