JAKARTA - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengkaji wacana mengangkat rektor perguruan tinggi negeri dari akademikus asing. Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Ismunandar, mengatakan kajian itu untuk mencegah kemungkinan kebijakan tersebut bertabrakan dengan peraturan perundang-undangan. "Nantinya kalau kebijakan ini jalan, beberapa peraturan dan perundangan harus diubah," kata dia di Jakarta, kemarin.
Ismunandar mengatakan Biro Hukum Kementerian Riset sedang mengkaji statuta sejumlah perguruan tinggi negeri untuk mengakomodasi penempatan rektor dan dosen dari warga negara asing. Menurut dia, saat ini statuta tersebut masih mewajibkan posisi rektor dan dosen diisi oleh warga negara Indonesia (WNI). "Di statuta perguruan tinggi yang berbadan hukum itu menyebut bahwa rektor harus WNI. Kalau kebijakan ini dijalankan, maka aturan itu harus diubah dulu," kata Ismunandar.
Ismunandar mengatakan kajian mengenai rencana tersebut sudah dilakukan sejak 2016 ketika wacana tersebut pertama kali muncul. Menurut dia, wacana mengimpor rektor dari luar negeri itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta inovasi perguruan tinggi di dalam negeri supaya bisa bersaing dengan perguruan tinggi di luar negeri. Targetnya, Kementerian Riset mulai menerapkan kebijakan ini pada 2020.
Menteri Riset Mohamad Nasir mengatakan rencana memasang rektor asing di perguruan tinggi itu mesti segera diwujudkan supaya kualitas perguruan tinggi di Indonesia segera mengatasi ketertinggalannya. Meski begitu, ia memastikan tak akan sembarangan memilih rektor dari luar negeri nanti.
Nasir mengatakan pemerintah kini tengah berfokus melakukan sinkronisasi perundang-undangan, baik regulasi maupun skema pendanaannya. "Ini enggak main-main, lho. Peraturan pemerintah harus diubah kalau mau," kata dia. Menteri Nasir menargetkan revisi aturan selesai pada akhir 2019. Kementerian Riset pun mempertimbangkan jaringan, kapabilitas, dan pemahaman konteks Indonesia menjadi syarat perekrutan rektor asing.
Rencana itu menuai kritik dari sejumlah kalangan. Wakil Ketua Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat, Reni Marlinawati, mengatakan rencana pemerintah itu tidak memiliki dasar yang kuat. Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa, jika perguruan tinggi dipimpin oleh akademikus asing, maka akan menyebabkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi tersebut bakal lebih baik. Selain itu, "Rencana ini akan bertabrakan dengan berbagai aturan," kata Reni.
Kritik serupa dilontarkan Wakil Rektor Institut Teknologi Bandung Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Bermawi Priyatna. Menurut dia, ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas perguruan tinggi. Bukan hanya faktor siapa yang menjadi rektor. Dengan demikian, keberadaan rektor asing tidak akan serta-merta mengerek kualitas perguruan tinggi.
Kualitas perguruan tinggi juga ditentukan oleh dukungan pemerintah. "Universitas asing itu dananya berlibat-lipat, sehingga mereka bisa berkelas dunia," kata dia.
Bermawi meminta pemerintah mengkaji akar masalah anjloknya ranking perguruan tinggi di Indonesia melalui fakta yang akurat. Setelah itu, baru merumuskan penyelesaian persoalan dengan lebih matang.
Adapun Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Padjadjaran, Arry Bainus, mengatakan kebijakan rektor asing belum memiliki roadmap yang jelas. Beberapa perguruan tinggi negeri berbadan hukum punya statuta yang mensyaratkan rektor adalah warga negara Indonesia. "Syarat itu bisa diganti oleh pemerintah, tapi mengubah statuta perguruan tinggi negeri berbadan hukum itu tidak gampang," kata dia. FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI | ARKHELAUS WISNU
Kementerian Riset Kaji Wacana Impor Rektor Asing