JAKARTA - Penolakan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera tak menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi agama dan sosial serta membahas rancangan undang-undang tersebut, berjanji bakal mengetok palu pengesahan sebelum pergantian masa jabatan tahun ini. "Semua anggota Komisi VIII sudah memiliki komitmen untuk menyelesaikan RUU ini sebelum masa periode anggota DPR ini berakhir," kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily, kepada Tempo, kemarin.
Ia mengatakan pembahasan RUU PKS saat ini masih berada di tingkat panitia kerja (panja). Komisi VIII, kata Ace, masih membandingkan daftar isian masalah (DIM) yang disusun DPR dengan DIM usulan panja pemerintah. Secara substansi, menurut Ace, RUU PKS diarahkan untuk pencegahan, perlindungan, rehabilitasi korban, serta pemberian hukuman yang berefek jera bagi para pelakunya. Bila ada substansi yang bertentangan dengan tatanan sosial dalam norma adat dan agama, ia melanjutkan, Dewan akan mencermati agar hal itu tidak termaktub dalam undang-undang.
Masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke program legislasi nasional telah disetujui Dewan pada Januari 2016. Namun, hingga kini, RUU itu tak kunjung disahkan. Pembahasan rancangan ini pun makin alot setelah Fraksi PKS menolak RUU lantaran masukannya tak diakomodasi dalam pembahasan. Salah satu masukan PKS adalah penambahan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai asas pertama rancangan undang-undang tersebut.
PKS juga mendorong pengubahan definisi kekerasan seksual. Jika panja tak mengubah draf sesuai dengan masukannya, PKS menilai rancangan undang-undang ini akan membuka ruang kebebasan seks. "Setelah dipelajari lebih dalam, pasal demi pasal, ayat demi ayat, ada yang secara makna dan tafsiran bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama," ujar Sekretaris Fraksi PKS, Sukamta.
Ace membantah bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bakal diarahkan untuk melanggengkan seks bebas dan hubungan seks sesama jenis. Menurut dia, RUU ini bertujuan memberikan perlindungan kepada siapa pun agar tidak mengalami kekerasan seksual. Meski begitu, ia memastikan panja DPR akan menerima masukan dari masyarakat. "Kami masih mensinkronkan dengan undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang KUHP, dan lainnya," ucapnya.
Ketua DPR Bambang Soesatyo mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan kembali dibahas pasal per pasal, khususnya terhadap pasal-pasal yang dianggap membuka pintu perzinaan. "Karena patokan kami adalah ajaran agama, itu pasti kami jaga betul. Jangan sampai undang-undang ini justru melegalkan atau membiarkan orang-orang yang melakukan sesuatu yang dilarang agama," tuturnya.
Aktivis Penggerak Keberagaman, Inayah Wahid, mendorong parlemen segera mengesahkan rancangan undang-undang ini. Sebab, angka kekerasan seksual terus bertambah. Sepanjang 2013-2017, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menerima 28.019 laporan kekerasan seksual yang dialami anak-anak dan perempuan. "Undang-undang ini urgen sekali untuk disahkan. Sudah terlalu banyak korbannya. Narasi yang dibawa orang-orang bahwa undang-undang ini pro-zina dan LGBT itu tidak benar," kata dia.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, meminta para anggota Dewan tidak termakan oleh hoaks seputar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ia juga mendorong Panja Komisi VIII DPR berfokus membahas substansi rancangan undang-undang sebagai regulasi yang mengatur jaminan perlindungan negara terhadap para korban kekerasan seksual. "Pemerintah harus tetap berkomitmen untuk mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU ini," ujarnya. MAYA AYU PUSPITASARI | BUDIARTI UTAMI PUTRI
Kisah RUU 10 Tahun