JAKARTA - Daerah sekitar Ibu Kota berupaya menuntaskan sejumlah program penanganan banjir. Salah satu fokus kebijakan tersebut adalah peningkatan kawasan resapan air dan daya tampung badan sungai. Hal ini tetap mereka tempuh meski pemerintah Depok, Bekasi, dan Tangerang mengakui sebagian besar wilayahnya telah menjadi kawasan permukiman, industri, dan komersial.
“Total RTH (ruang terbuka hijau) Kota Depok sekitar 11 persen dari idealnya lebih dari 20 persen. Tapi ini sudah susah sekali karena lahan milik Pemerintah Kota Depok tak banyak,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Depok, Dadan Rustandi, kepada Tempo, kemarin.
Keterbatasan lahan membuat administrator kota di selatan Jakarta itu memfokuskan kebijakan antibanjir mereka dengan meningkatkan tangkapan air hujan. Caranya, menambah daya tampung 21 setu dan membangun sumur resapan. Saat ini, Dadan melanjutkan, petugas tengah mengeruk sedimen dan lumpur di danau-danau di Depok yang luasnya 1 hingga 7 hektare. “Kami juga meminta warga membuat sumur resapan di rumah masing-masing. Ini paling efektif untuk menyerap air hujan,” ujar Dadan.
Bekasi juga kesulitan menambah daerah resapan air akibat masifnya pembangunan. Menurut Wali Kota Rahmat Effendi, sebagian besar permukiman dan tempat industri di sana dulunya merupakan sawah dan rawa yang berfungsi sebagai penyerap air hujan. Jejak masa lalu itu terlihat dari banyaknya kawasan perumahan dengan kontur cekungan di Bekasi sehingga selalu berada di bawah ancaman banjir. “Seperti banjir di sepanjang aliran Kali Cakung, kemarin. Hulunya di Jatisampurna, sedangkan hilirnya di Kanal Banjir Timur (KBT),” kata dia.
Untuk menambah ruang hijau, Effendi melanjutkan, butuh dana besar yang sulit dipenuhi Pemerintah Kota Bekasi. Terlebih lokasi ideal daerah resapan air adalah sepanjang aliran sungai. Kota dengan luas 210,5 kilometer persegi itu dibelah oleh delapan sungai, dengan tiga yang terbesar, yaitu Kali Bekasi, Cakung, dan Sunter. "Jadi, sementara, yang bisa kami selesaikan adalah merevitalisasi saluran dan tanggulnya," kata dia.
Warga menyelamatkan barang di tengah banjir di Kemang, Jakarta Selatan, 20 Februari lalu. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan pentingnya sejumlah proyek infrastruktur yang dapat mengurangi bencana banjir di Bekasi dan Jakarta, sebagai imbas limpahan air dari Bogor. Dia menunjuk pembangunan waduk di Sukamahi dan Ciawi di Bogor yang dapat mengatur debit air Ciliwung. Proyek garapan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tersebut telah mencapai 50 persen.
Proyek pengendalian banjir seperti itu juga akan berlangsung di Kali Bekasi. Menurut Ridwan, terdapat tiga proyek infrastruktur yang akan dimulai di kawasan tersebut. “Dua ruas sedang tahap pembebasan lahan,” kata dia.
Pemerintah Kabupaten Tangerang pun akan meningkatkan wilayah resapan air melalui normalisasi aliran sungai dan program Karya Bhakti dengan anggaran hingga Rp 57 miliar. Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, Slamet Budi Mulyanto, mengatakan banjir di wilayah di barat Jakarta itu lebih banyak disebabkan oleh tumpahan air dari badan sungai dan danau.
Hal ini disebabkan berkurangnya daya tampung karena tingginya endapan lumpur. Masifnya sedimen pada aliran air juga kerap menyebabkan kerusakan pada tanggul atau pintu air. “Seperti banjir di Gelam Jaya, Kecamatan Pasar Kemis. Penyebabnya, pintu air dari Sungai Cirarab ke Situ Gelam jebol," kata Budi.
Berbeda dengan Depok dan Bekasi, dia melanjutkan, Kabupaten Tangerang masih memiliki peluang untuk memperluas ruang hijau. Meski tak menjelaskan secara detail, dia mengatakan pemerintah membidik sejumlah lokasi dengan alam yang cocok sebagai kawasan resapan.
“Seperti kawasan pertanian yang kami minta agar tidak diubah menjadi permukiman atau kawasan industri," ujar dia.
ADE RIDWAN l AHMAD FIKRI l JONIANSYAH HARDJONO l ADI WARSONO