JAKARTA – Ibu Kota masih harus bersiaga menghadapi ancaman banjir, setidaknya dalam beberapa hari mendatang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, fenomena global gelombang badai La Nina yang membawa curah hujan tinggi diprediksi mulai meluruh pada Maret mendatang.
"Suhu permukaan laut di Samudra Pasifik timur masih cukup hangat. Artinya, badai La Nina masih berlangsung,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Fachri Radjab, kemarin.
BMKG menyampaikan potensi terjadinya hujan lebat di sejumlah wilayah Indonesia sejak September lalu. Berdasarkan pantauan BMKG, fenomena La Nina memang kerap mendorong peningkatan curah hujan bulanan hingga 40 persen di atas normal. BMKG mencatat intensitas hujan menembus 140 milimeter per bulan.
Menurut Fachri, luruhnya badai La Nina pun bukan semata menjadi patokan berhentinya curah hujan ekstrem di Tanah Air. BMKG memperkirakan sejumlah wilayah di Indonesia masih diguyur hujan pada bulan depan. Hal itu dipicu oleh sejumlah faktor regional dan lokal setiap wilayah, seperti fenomena pertemuan angin yang mendukung pertumbuhan awan konvektif. Selain itu, Indonesia menjadi daerah pertemuan monsun Asia yang bergerak ke selatan akibat daerah bertekanan rendah di utara Australia. “Munculnya daerah pertemuan angin di atas Indonesia dan suhu yang semakin dingin akan membentuk awan,” kata dia.
DKI Jakarta, Fachri melanjutkan, menjadi satu wilayah yang diperkirakan masih berada dalam posisi siaga banjir. Provinsi lain di Pulau Jawa yang berada di bawah ancaman serupa adalah Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Di wilayah ini, menurut dia, diprediksi terjadi hujan kategori lebat dan ekstrem dengan intensitas mencapai 100 milimeter per hari dalam beberapa hari ke depan. "Periode puncak musim hujan masih akan berlangsung pada akhir Februari hingga awal Maret nanti," ujarnya.
Petugas Pemadam Kebakaran menyedot air dari selokan ke Kali Ciliwung di Kampung Pulo, Jakarta, 8 Februari 2021. TEMPO/Subekti.
Prediksi BMKG senada dengan fakta munculnya ratusan titik banjir akibat hujan lebat yang mengguyur Ibu Kota sejak akhir pekan lalu. Bencana ini sekaligus mematahkan klaim pemerintah DKI yang optimistis berhasil melewati musim hujan tanpa banjir pada awal 2021. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, banjir terjadi di 42 rukun warga dengan 150 rukun tetangga yang terkena dampak.
Meski demikian, pejabat pelaksana tugas Kepala BPBD DKI Sabdo Kurnianto menilai korban banjir tersebut "cuma" 0,492 persen dari total wilayah Jakarta yang memiliki 30.470 RT. Bencana tahunan tersebut, dia melanjutkan, juga sebatas berlangsung di dua wilayah kota administrasi, yaitu Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
"Tingginya curah hujan di hulu menyebabkan luapan Kali Sunter dan Ciliwung. Jadi, warga sekitarnya terkena dampak luapan tersebut," kata Sabdo. Air memaksa 1.029 orang dari 223 keluarga mengungsi. "Tak ada korban jiwa.”
Meski luasannya jauh lebih kecil dibanding banjir besar Jakarta pada 2020, genangan air cukup tinggi, yaitu antara 40 dan 275 sentimeter. Banyaknya pengungsi juga menandakan air bertahan di permukiman dalam waktu lama, melebihi klaim pemerintah DKI yang menyatakan air surut tak akan lebih dari enam jam.
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyatakan Pemerintah Provinsi lebih siap dalam menangani banjir dibanding tahun lalu. Menurut dia, sejak tahun lalu, DKI telah mengalokasikan anggaran besar untuk proyek penangkal banjir. Saat ini, DKI tercatat memiliki 25 alat berat dan 260 truk yang masih terus bekerja mengeruk 597,3 meter kubik lumpur dan sedimen dari 23 waduk, 92 sungai atau kali, serta 390 tali air.
Dinas Sumber Daya Air juga telah memutakhirkan peralatannya dengan menyiapkan 487 pompa stasioner, 175 pompa mobile, dan 8.101 personel pasukan biru sebutan bagi petugas tata air. DKI pun menambah jumlah sumur resapan yang akan meningkatkan daya tampung air hingga 2.974 titik di 777 lokasi. “Kami telah coba untuk antisipasi,” kata Riza.
FRANSISCO ROSARIANS