JAKARTA — Muara Sungai Cilincing seperti tak bisa berpisah dengan sampah. "Meski rutin diangkut petugas kebersihan, tetap saja penuh sampah," kata Rohim, nelayan, di lokasi tersebut, kemarin.
Dari pengamatan Tempo, tumpukan sampah terbentuk di sana-sini. Mayoritas berisi botol dan kantong plastik. Tempo tak mendapati masker dan alat pelindung diri (APD) meski telah bolak-balik di tiga titik. Rohim, 56 tahun, juga hanya menggeleng saat ditanya soal tumpukan limbah masker dan APD.
Kondisi ini berbeda dengan beberapa waktu lalu. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendapati peningkatan volume sampah medis berupa masker hingga baju hazmat di Teluk Jakarta pada masa pandemi Covid-19. Berkolaborasi dengan IPB University dan Universitas Terbuka (UT), mereka menyatakan limbah masker medis, sarung tangan, pakaian pelindung, pelindung wajah, dan jas hujan menyumbangkan 15-16 persen atau 0,13 ton per hari dari total sampah yang dikumpulkan pada periode Maret-April tahun lalu. Penelitian ini dirilis pada hari terakhir 2020.
Limbah medis tersebut dinilai menambah beban pencemaran plastik di Teluk Jakarta selama ini. Peneliti dari LIPI di Pusat Penelitian Oseanografi, M. Reza Cordova, mengatakan jumlah sampah plastik meningkat 5 persen dibanding pada periode studi sebelum masa pandemi, yakni Maret-April 2016. Namun beratnya turun 23-28 persen. "Hal ini menguatkan indikasi perubahan komposisi sampah semasa pandemi, yaitu meningkatnya sampah berbahan plastik yang relatif lebih ringan," katanya.
Sejumlah anak bermain di antara tumpukan sampah di Teluk Jakarta, Kawasan Cilincing, Jakarta Utara, 23 Januari 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Ketiadaan limbah medis di muara sungai Jakarta merupakan hasil kerja petugas kebersihan. Pada masa pandemi, Dinas Lingkungan Hidup DKI memilah masker dan sarung tangan sekali pakai di tiap dipo sampah. Saban bulan, terkumpul sekitar 100 kilogram jenis sampah yang diberi label limbah infeksius tersebut. Petugas meminta warga Jakarta memisahkan kumpulan sampah masker dan sarung tangan sebelum membuangnya di tempat sampah demi melindungi pekerja kebersihan dari ancaman penularan virus corona.
Namun, masih ada saja limbah medis yang lolos. Tumpukan sampah medis ditemukan di aliran Sungai Ciliwung, Bogor, sejak awal masa pandemi. Bahkan, sampah sejenis juga banyak ditemukan di persawahan. Bukan hanya masker, petugas pun mendapati obat-obatan dan kantong darah. Dinas Lingkungan Hidup dan kepolisian Bogor tengah menyelidiki kasus pembuangan limbah berbahaya tersebut.
Ombudsman juga memantau pengelolaan limbah medis semasa pandemi di beberapa kota besar di Indonesia. Dalam tinjauannya, mereka memperkirakan limbah medis bertambah hingga 138 ton per hari selama masa pandemi. Padahal sebelumnya, ada 70,5 ton sampah medis yang tidak terolah per hari. "Artinya, limbah tidak terolah menjadi sekitar 200 ton per hari," ujar Alvien Lie, anggota Ombudsman RI, seperti ditulis Antara, kemarin.
Ombudsman juga mendapati tempat penampungan sampah tidak berizin dan tidak memenuhi standar praktik pengumpulan limbah. Produsen alat kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, menurut mereka, belum melakukan upaya konkret untuk mengurangi limbah medis, yang termasuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Masalah lain yang didapati Ombudsman adalah pengelolaan dan pengawasan pengolahan limbah medis, terutama di fasilitas tidak berizin. Mereka menyebutkan pemerintah daerah tidak memiliki data timbunan limbah medis secara mendetail, dari volume, pengangkutan, hingga pengolahan. Padahal Kementerian Lingkungan Hidup telah mengaturnya lewat Surat Edaran Menteri tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Covid-19.
Surat itu berisi pedoman bagi pemerintah daerah untuk menangani limbah infeksius dari fasilitas kesehatan, limbah infeksius dari rumah tangga, serta sampah rumah tangga dan sejenisnya. "Kami berharap pemerintah daerah mulai concern mengatasi masalah ini," kata Alvin.
INGE KLARA