JAKARTA – Pemerintah mendorong rumah sakit yang menangani pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mengajukan izin pengelolaan limbah medis yang dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3). Langkah ini perlu dilakukan karena jumlah limbah medis, terutama alat pelindung diri bekas pakai, terus bertambah. Peningkatannya sebesar 30-50 persen selama masa penanganan pagebluk.
Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Rosa Ambarwati, mengatakan, pada masa pandemi, jenis sampah rumah sakit yang dikategorikan berbahaya semakin beragam. Setiap perlengkapan yang sudah digunakan pasien Covid-19 dan menjadi sampah termasuk limbah infeksius (sampah medis yang dikategorikan sebagai B3). “Alat makan, yang sebelumnya dikategorikan sampah umum, sekarang masuk limbah infeksius karena dikhawatirkan membawa virus corona,” kata Rosa, kemarin.
Mesin Insinerstor yang digunakan untuk menghancurkan limbah B3 dari rumah sakit. universaleco.id
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini baru 118 rumah sakit di Indonesia yang mengantongi izin pengelolaan limbah B3 secara mandiri. Izin itu dikeluarkan setelah insinerator (fasilitas pengelolaan limbah) yang dimiliki seluruh rumah sakit itu lolos verifikasi kelayakan dan kualitas. Sedangkan perusahaan swasta yang telah mendapat izin untuk mengelola limbah medis, termasuk sampah infeksius, saat ini sebanyak 20 perusahaan.
Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 KLHK Sortawati Siregar mengatakan, secara keseluruhan, kapasitas pengelolaan limbah medis yang beroperasi saat ini masih jauh dari jumlah sampah infeksius yang dihasilkan rumah sakit rujukan Covid-19. Karena itu, pemerintah mengajak rumah sakit untuk memiliki mesin pengelola limbah mandiri. Sejumlah pengusaha juga diajak berinvestasi untuk membuat perusahaan pengelola limbah B3. “Tapi harus menggunakan alat yang sesuai. Terakhir, kami menolak izin dari lima rumah sakit yang mengajukan alat insinerator mirip tungku api,” kata Sortawati.
Berdasarkan Surat Menteri LHK Nomor 5167 Tahun 2020, fasilitas insinerator untuk limbah medis ini harus memiliki suhu pembakaran 800-1.200 derajat Celsius. Selain itu, mesin autoclave harus dilengkapi dengan alat pencacah atau shredder.
Aktivis lingkungan hidup, Yuyun Ismawati Drwiega, mengatakan ada selisih sekitar 70,432 ton per hari antara jumlah produksi limbah medis dan total kapasitas mesin pengelolaan yang sudah beroperasi. Limbah medis yang berasal dari 2.820 rumah sakit, 9.825 puskesmas, 7.641 klinik, 26.418 apotek, dan ratusan laboratorium mencapai 294,66 ton per hari. Sedangkan total kapasitas pengelolaan limbah B3 di rumah sakit dan perusahaan swasta hanya mampu mengolah 224,22 ton limbah per hari. “Total limbah medis pada 2020 itu 662,960 ton, yang 24 persen di antaranya adalah masker,” kata Yuyun.
Kegiatan pengolahan limbah dan proses daur ulang dari pengolahan kemasan limbah B3
Menurut Yuyun, harga mesin insinerator besar memang mencapai ratusan juta rupiah. Karena itu, banyak rumah sakit yang enggan membeli alat tersebut. Padahal saat ini banyak mesin sederhana dengan harga lebih murah yang bisa digunakan untuk mengolah limbah medis.
Misalnya, insinerator buatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung. Alat pembakar limbah yang menggunakan tenaga gas elpiji ini dapat digunakan untuk menangani limbah infeksius dalam skala kecil. Bentuknya seperti roket dengan ujung silinder lancip. Alat ini bisa menahan panas hingga suhu 900 derajat Celsius.
Ketua tim LIPI, Arifin Nur, menuturkan insinerator yang mereka buat mampu menampung limbah hingga 100 kilogram. Sistem pembuangan emisi dirancang aman dan ramah lingkungan. “Pembakaran dengan gas tabung ukuran 3 kilogram, misalnya, dapat dipakai selama 4-5 jam,” kata dia.
FRANSISCO ROSARIANS | ANWAR SISWADI (BANDUNG)