JAKARTA – Sejumlah kalangan mendorong badan usaha milik daerah (BUMD) yang bergerak di bidang transportasi mencari non-fare box atau pendapatan di luar tiket. Tujuannya, agar PT Transportasi Jakarta, PT MRT Jakarta, dan PT LRT Jakarta tidak selalu bergantung pada public service obligation (PSO) atau subsidi yang dikucurkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Anggota Komisi Bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta, S. Andyka, meminta perusahaan daerah kreatif dalam mencari alternatif pemasukan sehingga tidak bergantung pada subsidi DKI. “Cari dong non-fare box-nya, masak minta disubsidi terus,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Pemerintah DKI Jakarta akan mengurangi PSO bagi PT Transportasi Jakarta, PT MRT Jakarta, dan PT LRT Jakarta akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Alokasi anggaran daerah bagi tiga perusahaan itu berkurang dari Rp 4,5 triliun menjadi Rp 2,6 triliun.
Sebelumnya, pemerintah DKI menyampaikan bahwa APBD Jakarta menurun dari Rp 87,9 triliun menjadi Rp 58,9 triliun akibat pagebluk Covid-19. Wabah mengakibatkan pendapatan daerah dari pajak berkurang drastis sehingga sejumlah anggaran belanja harus dikurangi.
Andyka berpendapat banyak potensi yang dimiliki oleh perusahaan daerah untuk meningkatkan pendapatan non-tiket. Contohnya, Transjakarta bisa menjadikan halte dan bus menjadi tempat pemasangan iklan. Transjakarta, kata dia, dapat meniru taksi online yang kacanya menjadi tempat beriklan. “Itu bisa besar pemasukannya,” ujar politikus Partai Gerindra itu.
Menurut Andyka, sebaiknya BUMD transportasi berhenti menggembar-gemborkan capaian jumlah penumpang. Sebab, semakin banyak jumlah penumpang, subsidi yang harus dikucurkan pemerintah DKI juga makin besar. Seharusnya, dia melanjutkan, perusahaan bisa terus menambah jumlah penumpang, tanpa membuat subsidi membengkak. Caranya, ya itu tadi, dengan mengoptimalkan pendapatan non-tiket.
Andyka mengakui bahwa subsidi transportasi merupakan bagian dari pelayanan publik. “Tapi, BUMD sebagai persero kan juga harus bisa meningkatkan pendapatan. Jangan mengandalkan PSO terus,” katanya.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Haris Muhammadun mengatakan BUMD transportasi harus bisa meningkatkan pendapatan non-fare box. Misalkan, mengoptimalkan program naming rights atau hak atas penamaan di halte Transjakarta dan stasiun MRT Jakarta serta LRT Jakarta.
Naming rights telah dijalankan oleh PT MRT Jakarta. Ada lima stasiun Ratangga–sebutan kereta MRT–yang hak penamaannya dibeli oleh lima perusahaan. Sebut saja Stasiun Dukuh Atas BNI, Setiabudi Astra, Istora Mandiri, dan Lebak Bulus Grab. PT Grab Indonesia, misalnya, membayar Rp 33 miliar untuk pelabelan tersebut.
Menurut Haris, optimalisasi pendapatan non-tiket akan sangat membantu keuangan perusahaan daerah di tengah subsidi yang berkurang pada tahun ini. “Jadi, harus bisa mensiasatinya karena layanan harus tetap jalan,” kata dia.
Ide tersebut mulai dijalankan pengelola kereta ringan. Direktur Utama PT LRT Jakarta Wijanarko mengatakan ada sejumlah pendapatan non-tiket yang tengah dibidik. Misalkan, naming rights stasiun LRT Jakarta dan penyewaan tempat jualan di stasiun. “Kami belum bisa menyampaikan progresnya karena confidential dan terkait dengan bisnis,” ujarnya.
Namun, Transjakarta tidak dapat menjalankan praktik serupa. Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Sardjono Jhony Tjitrokusumo menjelaskan bahwa halte Transjakarta merupakan aset milik pemerintah DKI Jakarta. Walhasil, perusahaan belum bisa mengoptimalkan halte itu untuk mencari pendapatan non-tiket, termasuk naming rights dan tempat pemasangan iklan. “Belum jadi hak Transjakarta,” ujarnya.
GANGSAR PARIKESIT