JAKARTA – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta mempertanyakan langkah pemerintah DKI mengajukan pinjaman kepada pemerintah pusat senilai Rp 12,5 triliun. Sebab, permohonan utang itu tidak pernah dibahas bersama Dewan. Anggota Komisi Bidang Keuangan DPRD Jakarta, Syahrial, mempertanyakan urgensi pengajuan pinjaman itu. “Apakah harus meminjam karena likuiditas kita tidak mampu?” tuturnya dalam rapat bersama dengan eksekutif di gedung DPRD Jakarta, kemarin.
Sebelumnya, pemerintah DKI Jakarta mengusulkan pinjaman sebesar Rp 12,5 triliun dengan rincian Rp 4,5 triliun pada tahun ini dan Rp 8 triliun pada 2021. Pemerintah pusat kemudian mengabulkan permohonan pinjaman itu dalam rangka percepatan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebagai special mission vehicle di bawah Kementerian Keuangan.
Syahrial khawatir pemerintah provinsi kesulitan mengembalikan pinjaman itu. Apalagi untuk melunasinya akan dibebankan melalui pajak. “Pemerintah yang pinjam, rakyat yang bayar,” ujar politikus PDI Perjuangan itu.
Kritik senada disampaikan oleh anggota Komisi Bidang Keuangan lainnya, S. Andyka. Menurut dia, pemerintah DKI seharusnya membahas terlebih dulu bersama Dewan sebelum mengajukan permohonan pinjaman. Apalagi pemerintah provinsi berpotensi melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah. Sebab, untuk mengajukan pinjaman, pemerintah provinsi harus mendapat persetujuan dari DPRD. “Kan harus melibatkan legislatif, tapi kami kok enggak diajak membahasnya,” kata dia.
Dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tercatat bahwa pinjaman jangka menengah dan panjang wajib mendapat persetujuan Dewan. Bahkan, dalam Pasal 18 disebutkan bahwa kepala daerah menyampaikan usul rencana pinjaman daerah untuk mendapatkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan sejumlah dokumen yang salah satunya adalah persetujuan DPRD.
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah DKI Jakarta Sri Haryati menjelaskan, proses penawaran bantuan pinjaman dari pemerintah pusat hingga disetujui berlangsung sangat cepat. Apalagi wabah Coronavirus Disease 2019 masih merebak, tapi di sisi lain perekonomian harus segera dipulihkan. “Pemerintah pusat punya program pemulihan ekonomi untuk segera kami tindaklanjuti,” katanya.
Suasana di Gedung DPRD DKI Jakarta, Agustus 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Sri menerangkan, pemerintah DKI sebelumnya telah menyiapkan surat pemberitahuan kepada Dewan ihwal rencana pengajuan pinjaman itu. Namun ia belum mengetahui apakah surat tersebut telah dikirim atau belum kepada Dewan.
Sri menuturkan akan tetap melibatkan Dewan saat membahas program yang bakal dibiayai melalui utang tersebut. Sebab, dana dari pinjaman itu akan masuk anggaran pendapatan dan belanja daerah perubahan tahun ini. “Nanti pasti dibahas detail bersama DPRD terkait apa saja yang kami usulkan,” katanya.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah DKI Jakarta Edi Sumantri menuturkan bahwa pinjaman daerah dari pemerintah pusat ini bersifat lex specialis atau bersifat khusus karena wabah Covid-19. Walhasil, pemerintah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. “Karena pinjaman ini tujuannya untuk pemulihan ekonomi,” tuturnya.
Andyka tidak puas atas penjelasan dari eksekutif itu. Menurut dia, tidak ada satu pun klausul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang mengatur regulasi pinjaman daerah. Walhasil, pemerintah DKI seharusnya tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 dengan melibatkan legislator dalam pengajuan pinjaman daerah. “Sulit banget bagi eksekutif untuk mengakui tidak ada komunikasi dengan legislatif,” ujar politikus Gerindra itu.
IMAM HAMDI | GANGSAR PARIKESIT