Salah satu periode krusial bagi kehidupan anak adalah 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Masa ini terdiri atas 270 hari kehidupan janin di dalam rahim ditambah 730 hari setelah kelahiran bayi. Periode ini merupakan periode emas bagi proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.
Karena itu, dibutuhkan kerja sama semua anggota keluarga dalam mendukung sang ibu, baik pada masa kehamilan maupun menyusui. Pada masa menyusui, misalnya, seorang ibu mengalami perubahan emosi karena adanya perubahan hormon dari ibu hamil ke ibu menyusui. "Ibu menyusui jadi lebih sensitif suasana hatinya, belum stabil emosinya," kata konselor laktasi dari Rumah Sakit Mayapada, Ameetha Drupadi, dalam diskusi yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, di Jakarta, Jumat pekan lalu.
Dalam diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Pekan ASI Sedunia yang jatuh pada 1-7 Agustus 2019 itu, Ameetha mengatakan 50-80 persen ibu mengalami perubahan emosi ini pada 2-3 hari setelah melahirkan. Jika tidak tertangani dengan baik, perubahan emosi ini bisa mengakibatkan depresi pada ibu dan akan berimbas pada pemberian ASI.
Padahal ASI sangat penting karena mengandung gizi dan berbagai zat kekebalan tubuh yang dibutuhkan bayi. ASI juga mengandung antibodi untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit pada awal kehidupan. Selain itu, ASI dapat meningkatkan kecerdasan bayi dan pemberian ASI bisa menambah jalinan kasih sayang antara ibu dan anak.
Ameetha menjelaskan pentingnya peran ayah dan keluarga besar dalam mendampingi ibu selama kehamilan, persalinan, dan masa menyusui. Suami harus hadir dan mendukung istrinya untuk bisa menyusui dengan baik, terutama dalam proses adaptasi ibu untuk menyusui anaknya, yang biasanya terjadi dua hingga tiga hari pertama kelahiran anak.
Suami, menurut dia, dituntut melindungi istri dari gangguan menyusui, termasuk dari keluarga. Ia mengungkapkan, terkadang ibu menyusui menerima ucapan tidak menyenangkan dari keluarga. "Itu membuat ibu jadi down. Di situ peran ayah menjelaskan kepada mertua atau keluarga besar," ujar dia. Anggota keluarga lain juga dituntut bisa membantu ibu. Misalnya, nenek atau orang tua yang memiliki pengalaman menyusui.
Semua dukungan itu sangat dibutuhkan agar sang ibu terjauhkan dari depresi. Ameetha menjelaskan, deteksi dini ibu menyusui yang depresi bisa dilihat dari apakah ia mengalami sindrom baby blues, atau perasaan teramat sedih pada hari-hari pertama setelah bayi lahir. Jika terus berlanjut sampai dua pekan, itu bisa berkembang menjadi depresi. Ia menyarankan agar segera mencari pertolongan ke dokter jika sudah ada tanda-tanda seperti ini.
Selain itu, sang ibu memerlukan pengetahuan yang cukup dalam menjalani kehamilan dan mengasuh bayi. Edukasi itu bisa didapat dengan mengikuti program konseling yang dimulai pada masa kehamilan tujuh bulan. Dalam konseling itu, diharapkan ibu hamil datang bersama suami ataupun anggota keluarga lainnya. Sang ibu akan dibekali aneka pengetahuan, misalnya tentang pentingnya ASI dan teknik pemberian ASI yang benar kepada bayi.
Ameetha mengatakan proses menyusui bisa menjadi kendala jika ibu tidak mengetahui tekniknya karena bisa mengakibatkan luka atau lecet pada payudara ibu. Hal ini bisa menyebabkan ibu trauma memberikan ASI. "Kalau mendapat informasi sejak hamil, ibu akan lebih siap."
Penggiat gerakan Ayah ASI, Raditya Oloan, mengaku peran sebagai ayah yang membantu dan mendampingi istri dalam proses menyusui tidak mudah, tapi sangat bermanfaat. Ia menceritakan pengalamannya ketika melihat istrinya stres karena ASI tidak keluar. Ia berusaha membantu dengan memijat payudara sang istri hingga ASI-nya keluar. "Saya belajar, kalau istri saya stres, akan berimbas ke anak saya."
Namun, ia mengatakan, terkadang suami "sok tahu" ihwal kondisi sang istri saat menyusui. "Tidak usah sok (tahu), memangnya tahu rasanya seperti apa," tutur dia ketika ditemui di lokasi yang sama.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hendra Jamal, mengatakan pemerintah telah menyediakan sejumlah perangkat hukum dalam membantu ibu menyusui. Misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif.
Namun, hingga saat ini, pelaksanaan aturan itu belum maksimal. Salah satu hal yang krusial adalah keberadaan ruang laktasi di kantor dan tempat umum yang masih sedikit. "Memang banyak tantangan. Kalau (aturan) dilaksanakan, (seharusnya) beres ini."
DIKO OKTARA