Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan 4,2 juta kematian terjadi setiap tahun akibat paparan polusi udara. Sebanyak 3,8 juta kematian di seluruh dunia terjadi tiap tahun karena paparan asap dari tungku dan bahan bakar memasak yang tidak sehat.
Dalam konferensi global WHO pertama tentang pencemaran udara dan kesehatan pada 30 Oktober-1 November lalu, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan polusi udara adalah tembakau baru. "Tidak seorang pun, kaya atau miskin, dapat terhindar dari polusi udara. Ini adalah keadaan darurat kesehatan masyarakat yang diam," katanya. Tindakan sesederhana bernapas saja, kata dia, bisa membunuh tujuh juta orang per tahun.
Dalam dua tahun terakhir, tingkat polusi udara meningkat hampir dua kali lipat. Sebanyak 97 persen kota-kota di negara-negara berpenghasilan rendah memiliki kualitas udara buruk yang tidak memenuhi pedoman kualitas udara WHO. Namun di negara-negara berpenghasilan tinggi, persentase menurun menjadi 49 persen. "Ketika kualitas udara menurun, risiko stroke, jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan kronik dan akut, termasuk asma, akan meningkat," ujarnya.
Untuk menghindari radikal bebas yang disebabkan polusi udara, tubuh membutuhkan antioksidan, zat yang mampu mencegah atau memperlambat proses oksidasi. Komponen kimia yang berperan menghasilkan zat ini adalah senyawa golongan fenolik dan polifenolik, yang banyak terdapat dalam bahan pangan, terutama sayur. Antioksidan minimal yang dapat diperoleh dengan mudah dari bahan pangan adalah betakaroten serta vitamin A, E, dan C.
Menurut dokter yang berfokus pada anti-aging dan functional medicine, Lisa Silvani, sebetulnya tubuh bisa menghasilkan antioksidan sendiri secara natural. "Radikal bebas diketahui sebagai salah satu pemicu penuaan dan banyak penyakit, seperti kanker, penyakit jantung, berkurangnya penglihatan, hingga Alzheimer," katanya, belum lama ini. Kesadaran masyarakat yang tinggi menyebabkan konsumen suplemen antioksidan turut meningkat.
Lisa mengatakan salah satu antioksidan yang dihasilkan tubuh adalah glutathione. Glutathione dapat membantu tubuh mengubah berbagai macam radikal bebas menjadi bentuk yang tidak berbahaya bagi tubuh, sebelum radikal bebas itu dikeluarkan tubuh melalui detoksifikasi. "Sayangnya, gaya hidup masa kini dan asupan gizi yang tak seimbang membuat kemampuan tubuh menghasilkan antioksidan terganggu dan menurun," tuturnya.
Menurut dia, hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan produksi glutathione pada penderita kanker, HIV, diabetes tipe 2, parkinson, dan hepatitis. Orang-orang yang memiliki masalah dengan sistem detoksifikasi tubuh dan mengidap penyakit kronis inilah yang membutuhkan suplemen antioksidan. "Suplemen tersebut dapat mengurangi beban radikal bebas dan mempercepat penyembuhan penyakit," ucapnya.
Lisa menegaskan tidak semua orang membutuhkan suplemen antioksidan. Sebab, asupan antioksidan yang terlampau tinggi dari yang dibutuhkan tubuh justru dapat merusak tubuh. Hal ini dibuktikan para peneliti University of Toronto, yang mendapati suplemen vitamin B3, A, C, dan E terkait dengan peningkatan risiko semua penyakit.
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of American College of Cardiology pada Mei lalu itu, konsumsi suplemen vitamin hampir tak membuat perbedaan apa pun. "Orang-orang cenderung membuang uang mereka untuk suplemen yang tak terlalu efektif ketimbang menghabiskannya di toko sayur dan buah," kata David Jenkins, penulis utama studi tersebut. Dia mengatakan manfaat antioksidan dari buah dan sayuran akan lebih baik diterima tubuh.
Menurut Lisa, banyak jenis bahan pangan yang kaya antioksidan, antara lain alpukat, bawang putih, asparagus, brokoli, dan buah-buahan jenis berry: strawberry, blueberry, dan blackberry. Alpukat merupakan sumber terbaik dari karotenoid seperti betakaroten, alfakaroten, dan lutein. Satu buah alpukat mengandung 81 mikrogram lutein. HELLO SEHAT | DINI PRAMITA