Saban 19 November, sejak 2013, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingati tanggal tersebut sebagai Hari Toilet Sedunia. Peringatan ini dibuat untuk meningkatkan kesadaran akan pengadaan toilet dan sanitasi yang baik. Hingga hari ini, menurut beberapa lembaga tingkat dunia, ketersediaan toilet masih menjadi masalah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyebutkan sekitar 60 persen dari populasi global atau sekitar 4,5 miliar orang tidak memiliki toilet di rumah. Angka itu juga termasuk penduduk bumi yang tidak mengelola ekskreta dengan aman.
Selain itu, 862 juta orang di seluruh dunia masih buang air besar sembarangan. Negara-negara teratas yang masih dianggap memiliki masalah ini adalah India, Nigeria, Etiopia, Pakistan, dan Indonesia. Kelima negara tersebut menyumbangkan 75 persen angka buang air besar di lingkungan terbuka yang tidak dikelola dengan baik di seluruh dunia.
Akibat ekskreta tidak terkelola dengan aman, 1,8 miliar orang di dunia menggunakan sumber air minum yang tidak terlindungi dengan baik dari kontaminasi feses. Padahal, menurut Menteri Kesehatan Nila Moeloek, kesehatan tidak dapat dilepaskan dari kesehatan lingkungan, termasuk sanitasi. "Kita membutuhkan udara yang bersih, air, dan lingkungan yang bersih untuk menjadi sehat," kata Nila.
Permasalahan lain yang digarisbawahi UNICEF adalah jumlah toilet yang tidak ideal di sekolah dasar di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut laporan UNICEF, satu dari tiga sekolah di seluruh dunia tidak menyediakan fasilitas toilet yang higienis. Padahal, menurut standar UNICEF, rasio ideal toilet untuk siswa adalah 1 : 20.
Di Indonesia, menurut Data Pokok Pendidikan 2016, hanya 65 persen sekolah dasar yang memiliki jamban terpisah antara laki-laki dan perempuan dengan rasio 1 : 90. Artinya, setiap satu jamban digunakan 90 siswa. Hal ini meningkatkan risiko anak-anak terkena diare dan infeksi penyakit lain yang ditularkan lewat jamban yang higienitasnya buruk.
Lembaga WaterAid mengemukakan masalah sanitasi ini membuat jutaan anak di seluruh dunia terancam diare, dan sudah membunuh 289 ribu anak. "Jika tidak ada toilet yang baik dan higienis di sekolah, anak-anak berpotensi kehilangan waktu belajar emasnya dan berdampak terhadap pertumbuhan mereka," ujar juru bicara WaterAid Internasional, Anna France-Williams.
Menurut Nila Moelek, sanitasi memang berkaitan erat dengan stunting alias kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek dari tinggi badan orang lain seusianya. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, satu dari tiga anak di Indonesia menderita stunting. "Akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi pada penurunan stunting sebesar 27 persen," tutur Nila. Akibat permasalahan sanitasi ini, Indonesia mengalami kerugian ekonomi Rp 56,7 trilun per tahun untuk membayar ongkos pengobatan dan akomodasi.
Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, hingga Oktober 2018 tercatat ada 23 kabupaten kota dan hanya satu provinsi, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah mencapai prestasi seratus persen warganya tidak buang air besar sembarangan dan tidak lagi mengandalkan toilet terbuka. Toilet terbuka ini meningkatkan kerawanan sosial terhadap perempuan.
Menurut WHO, hingga saat ini, perempuan di seluruh dunia masih belum memiliki akses toilet yang tepat. Di sekolah-sekolah, ketersediaan toilet higienis yang adaptif terhadap kebutuhan menstruasi perempuan masih kurang. Fenomena serupa juga mudah ditemui di tempat-tempat umum lain, kecuali di tempat belanja yang sudah dikelola secara modern.
Penelitian terbaru yang dilakukan sejumlah peneliti dari Columbia University Mailman School of Public Health menunjukkan akses ke toilet pribadi bagi perempuan kurang memadai. Hal ini didasarkan pada desain, pedoman, dan penempatan toilet yang baik untuk perempuan dan anak perempuan. "Terutama di daerah kumuh perkotaan dan kamp-kamp pengungsian," kata peneliti utama, Marni Sommer.
Penelitian ini menunjukkan toilet untuk perempuan sering tidak memiliki keamanan memadai, seperti pintu tidak bisa dikunci dengan baik dan tidak memiliki tepat sampah khusus untuk membuang pembalut. "Sehingga sering mengakibatkan stres, malu, ketidaknyamanan fisik, bahkan memicu kekerasan berbasis gender," ucap Sommer.
Ia mengatakan kesulitan menemukan toilet yang nyaman di luar rumah bagi perempuan menstruasi menyebabkan mereka, khususnya anak perempuan, kerap menahan diri dari aktivitas di luar rumah, seperti bersekolah atau pergi ke pasar. DINI PRAMITA