Selama ini, sebagian pasien merasa takut jika dokter menyatakan pengobatan mereka memerlukan operasi bedah. Operasi sudah menjadi momok bagi para pasien karena umumnya mereka membayangkan akan mendapat luka yang besar, menyakitkan, dan membuat mereka akan dirawat di rumah sakit dalam waktu lama.
Belum banyak yang mengetahui bahwa saat ini sudah ada pengobatan melalui pembedahan dengan sayatan yang sangat minim atau lazim disebut minimal invasive. Dengan begitu, kekhawatiran di atas sudah bisa dihindari karena pembedahan dengan sayatan minimal akan membuat pasien lebih aman dan nyaman. "Pasien perlu tahu soal opsi-opsi ini," kata Chief Executive Officer Rumah Sakit Pondok Indah Group, Yanwar Hadiyanto, di Jakarta, Rabu lalu.
Yanwar mengatakan, dengan metode ini, pasien akan merasakan nyeri yang lebih sedikit, risiko komplikasi lebih rendah, dan pemulihan lebih singkat dibanding pengobatan melalui bedah konvensional. Beberapa penyakit yang bisa ditangani dengan teknik sayatan minimal ini adalah batu ginjal dan jantung koroner.
Teknik penanganan minimal invasive keyhole ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli bedah saraf asal Jerman bernama Axel Perneczky, pada 1999. Setelah itu, teknik ini menyebar ke seluruh dunia dan di Indonesia setidaknya sudah ramai dipraktikkan oleh sejumlah rumah sakit pada sembilan tahun lalu.
Yanwar mengilustrasikan, dari 100 pasien penyakit jantung di rumah sakitnya, 98 pasien pasti diobati dengan teknik sayatan minimal, bahkan untuk bagian urologi seperti penyakit batu ginjal sudah hampir 100 persen menggunakan teknik ini. Pembedahan jantung cara lama atau open heart surgery juga memakan ongkos yang lebih mahal. "Kalau cuma pasang ring sebanyak satu–tiga buah, open heart surgery lebih mahal."
Adapun pengobatan batu ginjal bisa dilakukan dengan cara yang disebut ESWL atau extracorporeal shockwave lithotripsy. Ini tindakan non-invasif yang memanfaatkan gelombang kejut untuk menghancurkan batu, sehingga tak ada sayatan sama sekali pada tubuh pasien. Namun ini hanya bisa dilakukan pada batu yang berukuran lebih kecil dari 2 sentimeter.
Pengobatan ESWL ini memiliki tingkat keberhasilan menghancurkan batu ginjal sebesar 98 persen. Dokter spesialis bedah urologi, Hery Tiera, mengatakan angka 98 persen sudah bisa dikatakan cukup baik karena di dalam dunia kedokteran tidak ada istilah keberhasilan 100 persen.
Selain ESWL, cara yang bisa dijalani adalah PCNL atau percutaneous nephrolithotomy. Cara ini merupakan prosedur pembedahan untuk mengambil batu ginjal dengan luka tusukan kecil sekitar 1 sentimenter menembus kulit. Teknik ini sering disebut juga sebagai keyhole surgery karena jalur akses dibuat tanpa memerlukan sayatan terbuka yang besar. Batu kemudian dihancurkan oleh laser atau lithotriptor melalui jalur akses tersebut.
Cara ini memiliki tingkat keberhasilan membersihkan batu sebesar 76–84 persen. "Karena itu, bisa saja dikombinasikan antara PCNL dan ESWL," ujar Hery.
Hery menyatakan pembedahan modern rata-rata tidak menghasilkan luka, meskipun ada bekas sayatan kecil di tubuh pasien, sehingga perawatannya juga lebih ringan. Dengan demikian, proses pemulihan pasien bisa berjalan lebih cepat.
Perbedaan cara pengobatan pasien batu ginjal disesuaikan dengan ukuran batunya dan lokasi batu itu berada. Sebelum diobati, pasien akan terlebih dulu diperiksa memakai CT-urologi agar tindakan penanganannya tepat.
Selain ginjal, penyakit yang bisa ditangani melalui sayatan minimal adalah jantung dengan cara kateterisasi atau pemasangan stent (biasa disebut ring) pada organ vital itu. Dokter spesialis jantung, Wishnu Aditya, mengatakan berdasarkan data yang dimilikinya sekitar 75 persen kasus jantung koroner dapat diselesaikan dengan tindakan intervensi nonbedah ini.
Wishnu menuturkan solusi pengobatan sakit jantung sudah tak semengerikan dulu, bahkan tak memerlukan pembedahan. Ia mengatakan dulu pasien jantung hanya bisa diperbaiki kondisinya melalui operasi, termasuk kasus penyakit jantung yang sederhana. Ia melihat hal ini akan membuat pasien harus menanggung risiko perdarahan, risiko anestesi umum, dan menjalani rehabilitasi setelah bedah.
Ia mengungkapkan pengobatan minimal invasive sebagian besar sudah bisa ditanggung biayanya oleh BPJS Kesehatan. Namun, menurut Wishnu, tidak semua masalah jantung bisa diatasi dengan teknik ini. Ia menjelaskan, jika terjadi penyumbatan yang terlalu banyak pada arteri koroner jantung atau kebocoran berat dari katup jantung, cara penanganan yang dianjurkan tetaplah operasi bedah. DIKO OKTARA
Lebih Cepat Sehat
Waktu tindakan dan pemulihan pengobatan dengan minimal invasive jauh lebih cepat dibanding bedah biasa. Dengan begitu, pasien lebih cepat sehat. Berikut ini perbandingan minimal invasive dengan cara kateterisasi pada pengobatan penyakit jantung dengan bedah biasa.
Rata-rata waktu tindakan:
- 1–2 jam (kateterisasi)
- 4–6 jam (bedah)
Waktu Perawatan:
- 1 hari (kateterisasi)
- 5 hari (bedah)
Waktu pemulihan:
- Tidak diperlukan (kateterisasi)
- 2 pekan–1 bulan (bedah)
SUMBER: DOKTER SPESIALIS JANTUNG WISHNU ADITYA | TEKS: DIKO OKTARA