JAKARTA - Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganggap cuci tangan bukan sebagai bagian dari perilaku hidup sehat. Menurut data Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa UNICEF dalam Prelimenary Draft Baseline Household Knowledge, Attitudes, and Practices (KAP) of Sanitation and Hand Washing Practices Survey 2014, 75,5 persen masyarakat Indonesia tidak mencuci tangan karena menganggap tangan mereka bersih.
Data lainnya menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang meninggal dunia karena diare. Data Riset Kesehatan Dasar 2007 mengungkapkan, sebesar 31 persen di antara anak di bawah usia setahun meninggal karena diare. Diare juga menjadi penyebab 25 persen kematian anak usia 1-4 tahun.
WHO menyebutkan cuci tangan menggunakan sabun dapat meningkatkan keamanan dan kesehatan seseorang. Karena itu, saban 5 Mei, diperingati sebagai hari cuci tangan. Tangan yang bersih diyakini sebagai langkah awal untuk menghentikan penyebaran infeksi dan mengendalikan risiko mutasi bakteri. "Cuci tangan merupakan tanggung jawab setiap orang, dari pasien dan tenaga medis hingga masyarakat awam," kata Direktur Regional WHO untuk Asia Tenggara, Dr Poonam Khetrapal Singh, pekan lalu.
Kesadaran yang rendah mengenai cuci tangan tidak hanya dialami Indonesia. Menurut penelitian yang dilakukan sejumlah ahli dari Michigan State University, sebanyak 95 persen orang salah dalam mencuci tangan. Salah satunya adalah kurang lama dalam mencuci tangannya sehingga tak efektif membunuh kuman penyakit. Mereka menemukan rata-rata orang mencuci tangan hanya selama enam detik.
Penelitian yang sama menunjukkan sebanyak 33 persen orang mencuci tangan, tapi tidak menggunakan sabun. Menurut kepala penelitian Carl Borchgrevink, angka ini mengejutkan karena sudah banyak panduan dan literasi mengenai cara mencuci tangan yang baik dan banyak orang masih belum melakukannya dengan baik. Studi yang sama bahkan menemukan sebanyak 15 persen laki-laki dan 7 persen perempuan (atau secara total seperlima penduduk dunia) tidak mencuci tangannya setelah buang hajat.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik (P2PTVZ) Kementerian Kesehatan, Elizabeth Jane Soepardi, mengatakan cuci tangan dengan benar dapat menyelamatkan anak-anak dari beragam penyakit, salah satunya stunting yang disebabkan cacing. Berdasarkan data pada 2015 dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, penyakit cacingan menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia dengan tingkat prevalensi hingga 28,12 persen. Menurut Elizabeth, angka tersebut pun belum mewakili banyak daerah di Indonesia yang memiliki potensi prevalensi di atas 50 persen.
Elizabeth mengatakan infeksi cacing dapat menyebabkan malnutrisi yang menghambat pertumbuhan. "Atau lebih dikenal dengan stunting," kata dia, dua pekan lalu. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan fisik dan tumbuh kembang anak sehingga mereka tak dapat berkembang secara optimal. Lebih dari itu, kata dia, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit cacingan dan gejala yang tidak terlihat membuat penyakit ini sering terabaikan.
Penuntasan masalah stunting sendiri saat ini telah menjadi perhatian pemerintah. Program ini juga telah menjadi salah satu fokus utama Presiden Joko Widodo yang mengimbau semua pihak, baik pemerintah pusat maupun desa, untuk dapat menekan prevalensi angka stunting di Indonesia melalui berbagai upaya, seperti menu bergizi untuk ibu hamil dan anak serta menggalakkan pentingnya pola hidup bersih dan sehat.
Menurut data terbaru Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 1,5 miliar orang di seluruh dunia atau sekitar 24 persen menderita cacingan. Cacingan secara luas tersebar di daerah tropis dan sub-tropis, dengan jumlah yang cukup besar di Sub-sahara Afrika, Amerika, dan Asia Timur. Data WHO juga menunjukkan bahwa lebih dari 270 juta anak usia prasekolah dan 600 juta anak usia sekolah tinggal di lingkungan dengan sanitasi yang tidak bersih, sehingga cacing dapat berkembang biak dengan cepat.
Banyaknya jumlah anak yang menderita cacingan, menurut Elizabeth, bisa merugikan negara karena dapat menurunkan kualitas sumber daya manusianya. Sementara itu, lebih dari 67 juta anak Indonesia membutuhkan pengobatan pencegahan (preventive chemotherapy). Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar ketiga setelah India dan Nigeria sebagai negara yang membutuhkan tindak pencegahan penyakit cacingan.
Elizabeth menyebutkan banyak orang tua sering mengabaikan penyakit infeksi ini dan menganggap kondisi tersebut adalah hal yang lumrah. "Padahal cacingan dapat menyebabkan dampak buruk pada tumbuh kembang anak, bahkan berdampak pada penurunan tingkat IQ anak," ujarnya. Anak berisiko menjadi kekurangan gizi karena semua nutrisi diserap oleh cacing tersebut.
Infeksi cacing, menurut Elizabeth, akan membuat perkembangan mental dan fisik anak menjadi terganggu serta membuat anak menjadi mudah sakit karena sistem imunitasnya menurun. Stunting atau fisik anak menjadi lebih pendek dan kecil dari teman seusianya, berkurangnya kecerdasan anak, serta pada beberapa kasus juga dapat menyebabkan kematian pada anak. "Kematian anak akibat cacingan biasanya disebabkan terjadi karena sudah terlalu banyak cacing di dalam tubuh si kecil, hingga membuat cacing menjelajahi organ tubuh yang lain, seperti paru-paru dan lainnya," kata dia.
Elizabeth menjelaskan, ada dua jenis dampak akibat infeksi cacing. Dampak jangka pendeknya, tubuh akan kekurangan zat besi yang sangat penting untuk memproduksi hemoglobin. "Di dalam tubuh, hemoglobin berfungsi sebagai alat angkut oksigen dan makanan dari usus ke seluruh organ tubuh," ucapannya.
Apabila tubuh kekurangan zat besi, seorang anak akan mengalami anemia atau penyakit kekurangan darah. Hal ini dapat terjadi akibat cacing yang kerap berkembang biak dan berkoloni di dalam usus. Kemudian cacing tersebut akan menggigit dinding usus untuk mengambil nutrisi yang masuk di dalam tubuh, termasuk zat besi.
Akibat jangka panjangnya, anak akan mengalami malnutrisi. Kondisi malnutrisi yang dibiarkan dalam periode lama akan mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental anak. "Seorang anak yang mengalami kekurangan gizi secara terus-menerus dan stunting juga dikhawatirkan memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata dan produktivitas yang rendah," ujar Elizabeth. Kondisi ini tentu akan menghambat anak tersebut untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Menurut Elizabeth, cara terbaik untuk memeranginya, antara lain, adalah membiasakan mencuci tangan menggunakan sabun. Terutama dalam lima waktu kritis, yaitu sebelum makan, sehabis buang air besar, sebelum menyusui, sebelum menyiapkan makan, setelah menceboki bayi, dan setelah kontak dengan hewan. DINI PRAMITA
Gunakan Sabun, Keringkan dengan Tisu
Berikut ini cara mencuci tangan yang benar menurut panduan WHO.
1. Basahi kedua telapak tangan setinggi pertengahan lengan memakai air yang mengalir, ambil sabun, kemudian usap dan gosok kedua telapak tangan secara lembut.
2. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian.
3. Perhatikan jari-jari tangan dan gosok sela-sela jari hingga bersih.
4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan saling mengatupkannya.
5. Bersihkan kedua pergelangan tangan secara bergantian dengan cara diputar, kemudian bilas seluruh bagian tangan dengan air bersih yang mengalir, lalu keringkan memakai handuk atau tisu.