>> Wicaksono
GEMA penolakan terhadap Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia agak mereda pekan ini. Meski masih terdengar suara-suara menentang di sana-sini, gaungnya tak sekencang pekan sebelumnya. Mungkin karena Kementerian Komunikasi dan Informatika hendak memasukkan draf itu ke laci--untuk sementara--setelah bertemu dengan DPR. Barangkali juga karena tertutup oleh aksi-aksi lain yang lebih mendesak untuk diteriakkan.
Ketika saya tengah mencari remah-remah berita tentang RPM Konten yang masih tersisa itulah, Mat Bloger mendadak datang dan langsung duduk di depan meja saya tanpa permisi.
"Saya mau bertanya, Mas," kata Mat Bloger membuka percakapan.
"Apa?" saya membalas.
"Ribut-ribut tentang RPM Konten sudah menyurut, tapi ancamannya masih membayang. Suatu saat nanti, kalau menterinya gatal tangan, bisa saja rancangan itu hidup lagi. Apa yang sebaiknya kita lakukan, Mas? "
"Ya, kita lawan lagi."
"Wah, enggak selesai-selesai dong? Keluar, tolak. Keluar, tolak. Begitu terus. Apa tak ada cara lain?"
"Seperti yang pernah saya katakan, sekaranglah saatnya kita semua duduk bersama untuk membahas tentang bagaimana mengelola ranah mayantara. Internet adalah wilayah yang warna-warni, tapi tak bisa ditolak kehadirannya. Diperlukan ikhtiar dan kiat khusus untuk menghadapi perkembangan teknologi itu. Tapi caranya bukan dengan menyaring atau memblokir.
Proses penyaringan dan pemblokiran secara terus-menerus hanya akan menyebabkan pelambatan akses Internet di Indonesia karena semua lalu lintas digital harus diawasi dan melewati pemeriksaan. Ini juga berarti semakin lambatnya masyarakat mengakses dan mendapatkan informasi di mayantara.
Seperti yang dikampanyekan oleh teman-teman dari lembaga pemantau Internet dan teknologi ICT Watch, saya setuju adanya upaya mendorong, memberdayakan, dan memfasilitasi pertumbuhan content lokal yang positif dan bermanfaat. Sebab, jika content semacam ini menjamur, dengan sendirinya situs-situs web yang tak layak diklik itu pun akan terkubur dalam-dalam.
Saya juga setuju dengan gerakan mendorong keluarga, sekolah, kalangan bisnis, dan khalayak--pendeknya komunitas pengguna Internet--mengatur dirinya sendiri untuk menghadapi ekses-ekses yang muncul dari jejaring global itu. Toh, inisiatif semacam itu mulai bermunculan, baik dari kalangan organisasi nirlaba maupun partikelir.
Untuk menyaring content negatif, misalnya, sudah ada Proyek Nawala. Sejak awal dirancang untuk melayani permintaan publik, Nawala adalah lembaga yang menampung permintaan khalayak untuk menyaring content negatif, misalnya pornografi, perjudian, dan perdagangan anak. Perlindungan pengguna, terutama anak-anak, adalah fokus utama Nawala.
Hanya bertindak berdasarkan permintaan, Nawala mampu memblokir aneka jenis content yang tidak sesuai atau melanggar peraturan perundangan. Nawala juga mampu memblokir situs Internet yang dianggap mengandung content berbahaya, seperti malware, situs phising (penyesatan), dan sejenisnya. Tapi keputusan menutup akses ke sebuah situs web tak diambil begitu saja, melainkan harus melewati beberapa tahap pertimbangan.
Di kalangan swasta pun ada layanan serupa. Penyelenggara jasa Internet, misalnya First Media, menyediakan layanan akses Internet khusus yang aman bagi anak-anak. Dengan layanan yang diberi nama FastNet Kids, orang tua tak perlu khawatir anak-anaknya bakal nyasar ke situs-situs web yang tak semestinya diakses. FastNet Kids telah memblokir sekitar 1 juta situs negatif dan terus bertambah setiap hari sehingga anak-anak yang mengakses Internet dengan layanan tersebut terlindungi.
Dengan mendorong komunitas Internet mengatur dirinya sendiri, saya rasa tak perlu ada lagi ribut-ribut seperti tempo hari."