BANGKOK -- Otoritas Thailand mendesak rektor beberapa universitas agar memberi tahu mahasiswanya untuk menghentikan aksi menuntut reformasi monarki. Menurut seorang anggota senat yang ditunjuk militer, pemerintah telah memperingatkan bahwa aksi semacam itu dapat menyebabkan kekerasan.
Senator Somchai Sawangkarn mengatakan kepada Reuters bahwa surat-surat telah dikirim oleh gubernur kepada sejumlah rektor. Isi surat itu memanggil mereka untuk hadir dalam rapat menjelang aksi protes yang direncanakan pada 19 September di Bangkok dan di sejumlah tempat lainnya.
"Universitas harus menciptakan pemahaman dengan mahasiswa tentang hal ini dan harus menghentikan tuntutan yang terkait dengan monarki," katanya, kemarin. "Kami tidak memberi tahu gubernur untuk memblokade aksi protes, tapi kami ingin mereka menciptakan pemahaman dengan pejabat universitas, terutama tentang 10 tuntutan monarki."
Thailand menghadapi aksi protes hampir setiap hari sejak pertengahan Juli lalu. Mereka menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta, mundur. Mereka juga mendesak perubahan konstitusi dan pemilihan umum baru. Sejumlah kelompok pemrotes membuat daftar 10 tuntutan, salah satunya mengurangi kekuasaan Istana Kerajaan Raja Maha Vajiralongkorn serta kendali pribadi atas kekayaan kerajaan dan sejumlah unit militer.
Surat kepada salah satu universitas yang dilihat Reuters menyebutkan adanya kekhawatiran tentang perilaku sejumlah kelompok pedemo. Misalnya, mereka yang ingin menggulingkan monarki juga menuntut pembatalan Pasal 112 hukum pidana Thailand. Pasal 112 mengacu pada hukum lese majeste Thailand, yang menetapkan hukuman penjara hingga 15 tahun jika seseorang dianggap menghina raja. "Ini masalah sensitif yang dapat menimbulkan kekerasan," demikian surat itu. Surat tersebut merujuk ke insiden pada 1976 dan 1992, ketika pasukan keamanan membunuh sejumlah pengunjuk rasa anti-pemerintah.
Surat itu juga menyebutkan, polisi akan menindak siapa pun selama aksi protes. Kementerian digital juga akan mengambil tindakan hukum terhadap mereka yang menggunakan media sosial untuk mendistorsi dan mencemarkan nama monarki ataupun menghasut.
Seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri memberi konfirmasi bahwa surat-surat tersebut telah dikirim, dan mengatakan hal itu adalah prosedur standar. Sedangkan Istana belum berkomentar. Juru bicara pemerintah, Anucha Burapachaisri, mengatakan pemerintah tidak akan mencoba menghentikan protes. Meski begitu, otoritas setempat akan menerapkan aturan dan menghindari terjadinya bentrokan.
Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul, 21 tahun, mahasiswa yang pertama kali membacakan 10 tuntutan monarki, menilai surat dari senat itu sama dengan taktik putus asa. "Mereka menggunakan taktik ini untuk menekan dan mengancam orang," ujar aktivis yang ditangkap karena aksi protes ini, meski kemudian dibebaskan dengan jaminan.
Anusorn Unno, dosen di Universitas Thammasat, yang bergabung dengan lebih dari 100 akademikus mendukung kebebasan berekspresi, mengatakan surat semacam itu bukanlah hal yang aneh. “Satu-satunya perbedaan kali ini adalah bahwa surat itu telah bocor,” katanya.
Perdana Menteri Prayuth, mantan pemimpin junta yang menolak tuduhan bahwa pemilu tahun lalu tidak adil, mengatakan protes harus diizinkan, tapi bukan kritik terhadap monarki.
REUTERS | BANGKOK POST