LONDON – Sebuah bocoran dokumen yang dilaporkan oleh Amnesty International menunjukkan bahwa militer Myanmar telah menerima uang sebanyak US$ 18 miliar sejak 1990 dari perusahaan konglomerat Myanmar dengan jaringan bisnis internasional.
Amnesty menyebutkan bahwa sepertiga saham dari Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL)—konglomerasi yang beroperasi dalam industri bir, tembakau, pertambangan, manufaktur pakaian, dan sektor keuangan—dimiliki oleh personel militer aktif dan pensiunan tentara Myanmar.
Kelompok hak asasi manusia yang berbasis di London itu menambahkan bahwa perusahaan ini memiliki hubungan finansial dengan Komando Barat, pasukan di Negara Bagian Rakhine yang dilaporkan melakukan kekejaman terhadap etnis muslim Rohingya dan etnis minoritas lainnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan menggolongkan kekejaman sebagai "genosida".
"Dokumen-dokumen yang bocor ini memberikan bukti baru tentang bagaimana militer Myanmar (Tatmadaw) mendapatkan keuntungan dari kerajaan bisnis MEHL yang luas,” kata Mark Dummett, Kepala Bisnis, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia Amnesty International.
Amnesty menyatakan bahwa dokumen dan laporan pemegang saham yang bocor diberikan oleh Justice for Myanmar, sebuah kelompok aktivis yang mengkampanyekan keadilan dan akuntabilitas bagi rakyat Myanmar.
Menurut Amnesty, salah satu yang mendapat keuntungan langsung dari perusahaan tersebut adalah komandan militer tertinggi Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing. Antara 2010 dan 2011, berdasarkan dokumen yang diperoleh Amnesty, dia memiliki 5.000 saham dan menerima sekitar US$ 250 ribu dividen.
Jenderal Min Aung Hlaing dituduh mengawasi kampanye militer melawan Rohingya. MEHL belum menanggapi laporan Amnesty ini.
Perusahaan tersebut juga bekerja sama dengan sejumlah perusahaan internasional dari Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. Perusahaan yang terdaftar sebagai mitra antara lain Kirin Holdings, perusahaan bir Jepang; serta pengembang properti INNO Group, eksportir pakaian Pan-Pacific, dan pembuat baja POSCO—semua dari Korea Selatan.
Menyusul laporan Amnesty tersebut, perusahaan Korea Selatan Pan-Pacific menyatakan akan mengakhiri kemitraan bisnisnya dengan MEHL. Adapun perusahaan Jepang, Kirin, memberi tahu Amnesty bahwa pihaknya sedang meninjau hubungan mereka dengan MEHL.
Kirin merupakan salah satu pembuat bir terbesar di dunia, seperti Kirin, San Miguel, Lion, dan Fat Tire. “Para konsumen bir global akan merasa ngeri jika menyadari tanpa sengaja menyumbangkan dana untuk kejahatan perang militer Myanmar,” ujar Peter Frankental, Direktur Program Bisnis dan Hak Asasi Manusia Amnesty Inggris.
AL JAZEERA | THE WASHINGTON POST | SITA PLANASARI AQUADINI
Pengakuan Anggota Tatmadaw
DUA anggota militer Myanmar bersaksi lewat video dan mengakui telah bertindak kejam terhadap minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Pengakuan anggota Tatmadaw istilah militer Myanmar diungkapkan oleh kelompok hak asasi manusia, Fortify Rights, Selasa lalu.
Fortify Rights memperoleh video pengakuan dua prajurit, Myo Win Tun dan Zaw Naing Tun. "Kedua pria ini secara terpisah mengaku bertindak atas perintah komandan senior untuk menembak semua yang dilihat dan yang didengar, serta membunuh semua Rohingya di wilayah tertentu," demikian pernyataan Fortify Rights.
Berbicara kepada kantor berita Anadolu, Direktur Eksekutif Fortify Rights Matthew Smith mengatakan pengakuan tersebut akan membantu pengungkapan kasus dugaan penganiayaan tentara Myanmar terhadap warga Rohingya. Perkara tersebut saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC).
Gugatan terhadap Myanmar di ICC diajukan oleh Gambia, negara kecil di Afrika Barat. Dalam gugatannya, Gambia menuduh Myanmar telah melakukan genosida terhadap warga etnis muslim Rohingya, sehingga memaksa ratusan ribu orang mengungsi ke negara lain. Kesaksian itu menjadi pengakuan publik pertama oleh tentara Myanmar atas keterlibatan mereka dalam pembantaian, pemerkosaan, dan kejahatan lainnya terhadap etnis Rohingya di negara dengan mayoritas penganut agama Buddha itu.
Belum ada komentar dari Myanmar terkait dengan pengakuan kedua tentara itu. Meski begitu, Myanmar dalam beberapa kesempatan membantah jika dituding melakukan genosida.
Fortify Rights menyatakan dua mantan prajurit militer itu melarikan diri dari Myanmar pada Agustus lalu. Dua tentara tersebut kemudian melakukan desersi dan meminta perlindungan otoritas Bangladesh. Sebagai negara yang meneken Statuta Roma, Dhaka memberi tahu ICC tentang kehadiran dua mantan tentara itu dan menyatakan keduanya sudah tidak lagi berada di Bangladesh.
ANADOLU | THE NEW YORK TIMES | SUKMA LOPPIES