KOTA GAZA — Ahmed Eissa, ayah dua anak yang tinggal di Jalur Gaza, harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari pada saat terjadi krisis listrik dan dibayangi ancaman perang baru dengan Israel.
Masalah semakin bertambah dengan masuknya wabah Covid-19 yang memicu penerapan penguncian wilayah oleh Hamas, pemimpin Gaza. Kini, Eissa tidak tahu bagaimana dia akan memberi makan keluarganya.
"Saya tidak punya tabungan dan tak punya pekerjaan. Jadi, tak ada yang mau meminjami saya uang," katanya, Kamis lalu. "Tapi saya tidak akan mengemis kepada siapa pun."
Eissa mencari nafkah dengan menjual ikan di pasar lokal. Pekerjaan ini menghasilkan sekitar 25 syikal (US$ 7) per hari. Namun ketegangan baru antara Hamas dan Israel membuat para nelayan dilarang melaut.
Wabah Covid-19 yang mulai menerjang Gaza juga memaksa Hamas menerapkan penguncian wilayah sejak Selasa lalu. Eissa, seperti warga lainnya, tidak diizinkan meninggalkan rumah.
Krisis bertambah dalam setelah pemadaman listrik semakin parah. Hal ini dipicu oleh serangan balon dan roket pembakar dari milisi Hamas ke Israel selama beberapa pekan terakhir.
Sebagai balasan, Israel meluncurkan serangan udara yang menargetkan infrastruktur militer Hamas, menutup zona penangkapan ikan Gaza dan satu-satunya penyeberangan komersialnya. Ini memaksa satu-satunya pembangkit listrik di Gaza ditutup karena kekurangan bahan bakar.
Orang tua Eissa, yang tinggal di lantai bawah, mengiriminya semangkuk sup untuk makan siang pada Kamis lalu. "Saya tidak tahu apa atau bagaimana kita akan makan besok," ujarnya dari rumahnya di kamp pengungsi Nusseirat, di Gaza tengah.
Ia mengeluh belum melihat rencana serius pemerintah tentang cara mengatasi krisis.
Pekan ini, Hamas telah mendeteksi 80 kasus penularan lokal, dan dua orang telah meninggal karena Covid-19. Hamas menerapkan penguncian wilayah hingga besok, memaksa sebagian besar bisnis untuk tutup dan mendirikan pos pemeriksaan untuk membatasi pergerakan.
"Kami mungkin harus menutup seluruh lingkungan dan mengunci warga di rumah mereka sambil menyediakan apa yang mereka butuhkan," tutur Tawfiq Abu Naim, Kepala Layanan Keamanan Hamas, kepada wartawan.
Pembatasan yang diberlakukan oleh Hamas bertujuan mencegah apa yang dikhawatirkan banyak pihak akan menjadi bencana yang lebih besar. Wabah berskala luas pada populasi 2 juta orang yang terkurung di wilayah di mana sistem perawatan kesehatan telah dihancurkan oleh perang dan isolasi selama bertahun-tahun.
Dengan Israel dan Mesir mempertahankan pembatasan ketat di sepanjang perbatasan selama lebih dari satu dekade, sebagian besar warga Gaza hanya memiliki sedikit akses ke dunia luar.
“Apa yang terjadi jika salah satu dari kita terinfeksi?” tanya Khaled Sami, seorang warga Gaza. “Ketika warga sakit parah, mereka mengirimnya ke Israel, Tepi Barat, atau Mesir. Semuanya sudah ditutup sekarang. Dan siapa yang akan membukakan pintu bagi seseorang yang menderita Covid-19? ”
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan rumah sakit Gaza saat ini memiliki kapasitas untuk 350 pasien Covid-19 bagi populasi 2 juta jiwa.
Dr Ayadil Saparbekov, kepala tim keadaan darurat kesehatan lokal WHO, mengatakan akan bekerja bersama otoritas Gaza untuk mengubah tenda medis bekas protes perbatasan menjadi fasilitas triase Covid-19.
“Dengan begitu, dokter dapat mengidentifikasi jika mereka memiliki gejala, dan mereka tidak akan terburu-buru ke rumah sakit dan berisiko menulari semua orang di sana,” katanya.
Sekitar dua pertiga dari populasi Gaza adalah pengungsi yang keluarganya melarikan diri atau diusir selama perang 1948 yang mengawali pembentukan Israel.
Lebih dari satu juta orang menerima bantuan makanan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Tapi mereka terpaksa menghentikan distribusi makanan karena pandemi, dan sekarang hanya menyediakan perawatan kesehatan dan sanitasi dasar.
“Kami sadar bahwa kebutuhan akan makanan bahkan lebih genting selama periode seperti ini. Kami sedang bekerja keras untuk memungkinkan melanjutkan operasi makanan besar-besaran ini dalam waktu dekat dengan cara yang aman,” kata Matthias Schmale, Direktur UNRWA di Gaza.
UNRWA meluncurkan program untuk mengirim makanan ke rumah warga pada Maret, masa awal pandemi global. Tapi lembaga ini mengakhirinya ketika penguncian awal dicabut.
ABC NEWS | REUTERS | STAR HERALD | SITA PLANASARI AQUADINI
26