BEIJING - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan situasi darurat global terkait dengan wabah virus corona mematikan yang menyebar dari Wuhan, Cina. Pengumuman ini diambil setelah Cina melaporkan lonjakan angka kematian terbesar dalam sehari.
WHO menilai kondisi ini sebagai tanda yang mengkhawatirkan dan mendorong lembaga corona menyatakan wabah itu sebagai keadaan darurat global. "Alasan utama deklarasi ini bukanlah apa yang terjadi di Cina, melainkan apa yang terjadi di negara lain," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam keterangan pers di Jenewa, kemarin. Kekhawatiran terbesar WHO adalah potensi virus ini menyebar ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang lebih lemah dan tidak siap menghadapinya. "Kita harus bertindak sekarang."
Otoritas Cina kemarin melaporkan sebanyak 9.692 orang terkonfirmasi terinfeksi. Korban tewas meningkat menjadi 213 orang, termasuk 43 kematian baru. Sebagian besar kasus terjadi di Provinsi Hubei dan ibu kota provinsi, Wuhan, tempat wabah virus corona terdeteksi pada Desember lalu. Sebanyak 102 ribu orang lainnya juga dilaporkan berada di bawah pengamatan medis dengan kemungkinan gejala penyakit pernapasan. Sebanyak 21 negara lainnya terkonfirmasi terinfeksi, tapi tidak ada kematian yang dilaporkan di luar Tiongkok.
Komisi Kesehatan Nasional melaporkan 171 kasus telah "disembuhkan dan dipulangkan dari rumah sakit". WHO mencatat sebagian besar orang yang menderita penyakit itu memiliki kasus yang lebih ringan, meskipun 20 persen mengalami gejala yang parah. Gejala coronavirus baru termasuk demam dan batuk, sedangkan pada kasus yang parah, gejalanya sesak napas dan pneumonia.
Tedros menggambarkan virus itu sebagai wabah yang belum pernah terjadi, dengan respons yang juga belum terjadi sebelumnya. Dia memuji tindakan luar biasa yang telah diambil otoritas Cina. Dia mengatakan tidak ada alasan untuk membatasi perdagangan atau perjalanan ke Cina. "Biar saya perjelas, deklarasi ini bukanlah suara tidak percaya terhadap Tiongkok," ucap dia.
Amerika Serikat memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Cina setelah pengumuman status darurat oleh WHO. Washington juga menilainya dari jumlah korban tewas virus corona di Cina yang mencapai 213 orang. Peringatan "Do Not Travel" tingkat 4 merupakan peringatan tertinggi. Kedutaan Amerika di Beijing menyatakan keputusan itu dibuat karena perlu kehati-hatian akibat gangguan logistik dan transportasi terbatas serta ketersediaan perawatan kesehatan yang sesuai untuk virus corona baru ini.
Jepang, Jerman, dan Inggris juga menyarankan agar warganya tidak melakukan perjalanan jika tidak mendesak, kecuali ke Hong Kong dan Makau. Italia mengambil langkah yang lebih drastis, yakni menghentikan semua lalu lintas udara dengan Cina. Sejumlah maskapai, termasuk KLM SA Air France, British Airways, Lufthansa Jerman, dan Virgin Atlantic, untuk sementara waktu menangguhkan penerbangan ke Cina.
Menteri Kesehatan Iran Saeed Namaki melarang pelancong dari Cina masuk ke negara itu, termasuk penumpang yang bepergian melalui laut, darat, dan udara. "Pelabuhan-pelabuhan Iran dalam keadaan siaga dan siap untuk menghadapi virus corona," cuit Namaki.
Duta Besar Amerika untuk Cina, Zhang Jun, di New York, mengatakan pemerintahnya masih berada pada tahap yang sangat kritis dalam memerangi virus corona. Dia menegaskan, epidemi tersebut masih terbatas di Cina dan mendesak masyarakat internasional untuk tidak bereaksi berlebihan. Cina menghargai gerakan yang dibuat oleh komunitas internasional dalam menyediakan peralatan medis, terutama di Provinsi Hubei, yang sangat membutuhkannya.
Mengomentari status darurat global oleh WHO, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying, mengatakan negaranya telah mengambil langkah-langkah pencegahan dan kontrol secara komprehensif dan teliti. "Kami memiliki keyakinan dan kemampuan penuh untuk memenangi pertarungan ini," kata Chunying.
Para ilmuwan berharap penularan virus ini terbatas antara orang-orang dan kontak dekat, seperti dalam keluarga. Para peneliti di seluruh dunia bergegas membuka rahasia virus ini dan membuat vaksin. REUTERS | BBC | ASSOCIATED PRESS | AL JAZEERA | SUKMA LOPPIES
Berlomba Mengembangkan Vaksin
TIM ilmuwan di Australia merupakan tim pertama yang mengembangkan duplikasi virus corona di laboratorium di luar Cina. Langkah ini akan membantu para peneliti mempelajari patogen yang telah menewaskan sedikitnya 170 orang itu untuk pengembangan vaksin.
Para ilmuwan dari Institut Peter Doherty untuk Infeksi dan Kekebalan di Melbourne mengembangkan virus corona Wuhan dari sampel pasien. Mereka akan membagi eksperimennya dengan WHO di Eropa, yang akan membagikannya kepada laboratorium di seluruh dunia, termasuk laboratorium di Queensland, yang juga terlibat dalam perlombaan pengembangan vaksin.
"Pejabat Cina merilis urutan genom dari virus corona yang sangat membantu untuk diagnosis. Dengan memiliki virus yang sebenarnya, berarti sekarang ada kemampuan untuk benar-benar memvalidasi dan memverifikasi semua metode pengujian serta membandingkan sensitivitas dan kekhususan mereka. Ini akan menjadi bahan diagnosis," ujar Julian Druce dari Rumah Sakit Royal Melbourne. "Virus ini akan digunakan sebagai bahan kontrol positif dan dikirim ke laboratorium ahli yang bekerja sama dengan WHO di Eropa."
Mike Catton, Wakil Direktur Doherty Institute, mengatakan tes antibodi akan memungkinkan tim untuk menguji secara retrospektif pasien yang dicurigai. Dengan begitu, dapat dikumpulkan data yang lebih akurat tentang seberapa luas virus itu dan akibatnya, seperti tingkat kematian yang sebenarnya. "Ini juga akan membantu efektivitas vaksin percobaan."
Sementara itu, di laboratorium Inovio di San Diego, para ilmuwan menggunakan jenis teknologi DNA yang relatif baru untuk mengembangkan vaksin potensial. Kate Broderick, Wakil Presiden Senior Penelitian dan Pengembangan Inovio, mengatakan, setelah Cina menyediakan urutan DNA virus ini, mereka memanfaatkan teknologi komputer dan merancang vaksin. Inovio mengatakan, jika uji coba terhadap manusia pada tahap awal berhasil, akan dilakukan uji coba yang lebih besar lagi. INDEPENDENT | REUTERS | BBC | SUKMA LOPPIES