TRIPOLI - Komandan pasukan pemberontak Tentara Nasional Libya (LNA), Khalifa Haftar, meninggalkan perundingan damai di ibu kota Rusia, Moskow, tanpa menandatangani perjanjian gencatan senjata. Kepergian Haftar yang tiba-tiba merupakan kemunduran diplomatik internasional dalam beberapa hari terakhir meskipun Moskow berkeras akan melanjutkan upaya mediasi.
Haftar dan sekutunya berada di Moskow pada Senin lalu untuk melakukan pembicaraan dengan Fayez al-Sarraj, Kepala Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA). "Kami akan mengupayakan perdamaian di Libya. Untuk saat ini, hasil yang pasti belum tercapai," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam konferensi pers di Sri Lanka, kemarin.
Pasukan Haftar menyerang pemerintahan Sarraj sejak April tahun lalu untuk merebut kekuasaan di Tripoli. Kedua pria itu terakhir bertemu di Abu Dhabi pada Februari 2019 sebelum pembicaraan mengenai kesepakatan pembagian kekuasaan gagal. Haftar memindahkan pasukannya ke Tripoli pada April untuk memperluas pengawasan di luar timur dan selatan.
Kedua pihak kemudian bersepakat melakukan gencatan senjata yang ditengahi oleh Rusia dan Turki serta mulai berlaku akhir pekan lalu. Mediasi Rusia-Turki merupakan upaya terbaru untuk mengakhiri kekacauan di Libya. Kantor berita Rusia, TASS, melaporkan, Sarraj menolak terlibat dalam pembicaraan langsung dengan Haftar, memaksa diplomat Rusia dan Turki bertindak sebagai perantara.
Keduanya akhirnya bersepakat bertemu di Moskow pada Senin lalu untuk menandatangani perjanjian jangka panjang guna mengakhiri sembilan bulan bentrokan. Pembicaraan tersebut meningkatkan harapan untuk mengakhiri pertempuran terbaru yang menghancurkan negara kaya minyak di Afrika Utara itu sejak pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 menewaskan diktator Muammar Qadhafi.
Namun, setelah delapan jam negosiasi, hanya Sarraj yang menandatangani perjanjian. Selain keberatan karena banyak usulannya tak masuk dokumen gencatan senjata itu, Al Arabiya melaporkan Haftar menolak campur tangan, mediasi, atau partisipasi Turki dalam pemantauan gencatan senjata di Libya.
Haftar juga frustrasi karena dokumen itu tidak menyatakan bahwa pasukan Turki harus ditarik dari Libya, juga bahwa kesepakatan antara GNA dan Ankara harus dibatalkan. Kesepakatan terakhir ditandatangani pada akhir November tahun lalu yang mencakup kerja sama militer.
Turki mendukung GNA pimpinan Fayez al-Sarraj yang berpusat di Tripoli dan mendapat pengakuan internasional. Sementara itu, kontraktor-kontraktor militer Rusia ditempatkan bersama LNA pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, yang berbasis di wilayah timur.
Sejak dimulainya serangan terhadap Tripoli, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan lebih dari 280 warga sipil dan sekitar 2.000 pejuang tewas serta 146 ribu warga Libya mengungsi. DAILY SABAH | AL ARABIYA | AL JAZEERA | TASS | SITA PLANASARI AQUADINI