BRASILIA — Gelombang protes massa yang telah berlangsung selama dua pekan terakhir di Brasil memaksa Presiden Dilma Rousseff mengeluarkan sejumlah reformasi kebijakan publik, Senin lalu waktu setempat.
Rousseff mengumumkan akan menggelontorkan dana 50 miliar real Brasil atau setara Rp 222 triliun untuk membangun sistem transportasi publik, merekrut dokter asing untuk melayani warga di daerah terpencil, dan mengalokasikan 100 persen royalti minyak untuk pendidikan.
Presiden perempuan pertama Brasil itu juga berjanji akan menerapkan hukuman yang lebih berat kepada koruptor—salah satu tuntutan utama dalam protes massa yang berlangsung di seluruh penjuru negeri. Bahkan Rousseff mempertaruhkan posisi partainya di parlemen, dengan menyetujui pembentukan majelis konstituen yang akan mengawasi jalannya reformasi di Brasil.
"Kami mendengar suara rakyat di jalanan yang menginginkan perbaikan layanan publik, aturan yang lebih tegas untuk memerangi korupsi dan representasi politik yang lebih responsif," kata Rousseff setelah menemui sejumlah wali kota dan gubernur yang menerima proposalnya.
Rencana reformasi sang presiden disambut baik oleh Mayara Longo Vivian, salah satu pemimpin gerakan yang sempat menemui Rousseff. "Ada sejumlah langkah konkret dalam proposal pemerintah," ujar Vivian. Namun ia menegaskan, perjuangan rakyat akan terus berlanjut hingga pemerintah menerapkan kebijakan tersebut.
Sebelumnya, warga protes karena menilai pemerintah hanya berbicara tanpa melakukan tindakan. Mayara Fernandes, mahasiswa kedokteran yang turut dalam aksi massa di Kota Sao Paulo, mengatakan presiden gagal melihat kemarahan rakyat ihwal merajalelanya korupsi. "Dia hanya berbicara dan tidak melakukan apa pun. Kami sudah muak terhadap praktek korupsi di negara ini," kata Mayara.
Reformasi kebijakan politik Brasil ini merupakan yang pertama dalam 25 tahun terakhir. Reformasi terakhir terjadi saat parlemen meratifikasi amendemen konstitusi pada 1988. Amendemen ini untuk menandai berakhirnya rezim junta militer yang berhasil digulingkan pada 1985.
Gerakan protes massa kali ini merupakan yang terbesar di negara Amerika Latin itu selama dua dekade terakhir. Protes berawal saat pemerintah menaikkan harga tiket satu kali perjalanan bus di Sao Paolo dari 3 real atau sekitar Rp 13 ribu menjadi 3,2 real atau lebih dari Rp 14 ribu pada 2 Juni lalu.
Aksi protes mulai memanas sejak 17 Juni 2013 ketika puluhan ribu orang merangsek ke kota terbesar di Brasil, Sao Paolo, untuk menentang kenaikan harga tiket transportasi publik. Unjuk rasa juga berlangsung di 100 kota lainnya, termasuk Ibu Kota Brasilia, di mana para pendemo menaiki atap bangunan kongres nasional.
Tapi protes para pendemo itu kemudian berkembang, dari sekadar menentang kenaikan biaya transportasi menjadi menuntut peningkatan pelayanan kesehatan, keamanan, korupsi, serta pemborosan investasi publik dalam pelaksanaan Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016.
Puncaknya terjadi pada Kamis pekan lalu ketika 1 juta orang turun ke jalan di seluruh penjuru Brasil.
Sejak itu, jumlah demonstran terus menurun meski aksi protes terus berlangsung. Setelah pengumuman, sejumlah warga masih melakukan demonstrasi. Dua perempuan yang sedang berunjuk rasa di Brasilia dilaporkan tewas karena ditabrak pengemudi mobil yang mengebut. Insiden ini menambah jumlah korban tewas selama aksi protes sejak dua pekan lalu menjadi empat orang. BBC | REUTERS | THE NEW YORK TIMES | S ITA PLANASARI AQUADINI
PROTES DI BRASIL
Ratusan ribu orang, bahkan pada Kamis pekan lalu diperkirakan mencapai 1 juta orang, turun ke jalan untuk mengikuti aksi demonstrasi terbesar dalam dua dekade terakhir di Brasil.
Lokasi protes
BRASIL
Belen
Fortaleza
Natal
Joao Pessoa
Recife
Mceio
Aracaju
Salvador
Vitoria
Rio de Janeiro
Sao Paolo
Porto Alegre
Rio Grande
Brasilia
Manaos
Porto Velho
Cuiaba
Goiania
Campinas
Londrina
Curitiba
Florianopolis
Sumber: Folha de Sao Paolo | Jornal O Globo | Reuters
Aksi demo diawali dengan protes naiknya ongkos transportasi di Sao Paolo. Namun belakangan berkembang menjadi banyak hal.
PENYEBAB AKSI
Menentang kenaikan ongkos transportasi 67%
Menentang korupsi 38%
Menantang politikus kotor 35%
Meningkatkan kualitas transportasi publik 27%
Meningkatkan keamanan 20%
Menentang kekerasan polisi 18%
Meminta transportasi publik gratis 14%
*Survei dilakukan pada sekitar 805 orang berusia di atas 16 tahun di Sao Paolo. | Datafolha