maaf email atau password anda salah


Kemendikbudristek

Kebudayaan sebagai Barang Milik Bersama

Kebudayaan memiliki peran penting dalam memastikan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.

arsip tempo : 172743594479.

Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam peringatan tujuh tahun Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. tempo : 172743594479.

Dalam konteks pembangunan nasional, kebudayaan seringkali dipandang sebagai sektor pinggiran yang kurang mendapat perhatian serius. Padahal, kebudayaan bukan hanya soal warisan sejarah atau ekspresi artistik, tetapi juga mencakup nilai-nilai, praktik sosial, dan pengetahuan yang menjadi dasar keberlangsungan hidup masyarakat. Oleh karena itu, kebudayaan seharusnya diposisikan sebagai barang milik bersama (cultural commons) yang perlu dilindungi, dirawat, dan dimanfaatkan dengan bijak untuk menjamin keberlangsungan reproduksi sosial-ekologis.

Kebudayaan dalam Dua Domain Pembangunan Nasional

Pembangunan nasional dapat dibagi menjadi dua domain utama: Domain Produksi (extractive sector) dan Domain Reproduksi (care sector). Domain Produksi mencakup sektor-sektor yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui produksi barang-barang privat (private goods), seperti industri, perdagangan, dan pertanian. Sementara itu, Domain Reproduksi mencakup sektor-sektor yang mendukung keberlanjutan kehidupan sosial, budaya, dan lingkungan, seperti kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan​.

Namun, salah satu tantangan utama dalam pembangunan nasional adalah terputusnya hubungan antara kedua domain ini, yang sering disebut sebagai "patahan metabolik". Domain Reproduksi sering kali dianggap sebagai sesuatu yang sudah ada secara alami (given) dan tidak diakui kontribusinya dalam neraca pembangunan nasional. Kebudayaan, sebagai bagian dari Domain Reproduksi, kerap hanya dipandang dari segi nilai estetikanya, sementara perannya dalam menopang kehidupan sosial dan keberlanjutan lingkungan kurang dihargai​.

Eksploitasi kebudayaan tanpa reinvestasi yang memadai dapat menyebabkan degradasi sosial dan budaya, yang pada akhirnya juga akan berdampak negatif pada Domain Produksi. Contoh nyata dari fenomena ini adalah komersialisasi cagar budaya dan ritual adat yang dilakukan secara berlebihan, yang dapat merusak makna asli dan fungsi sosial dari kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang menginternalisasi nilai-nilai yang dihasilkan dari Domain Reproduksi ke dalam neraca pembangunan nasional, misalnya melalui pajak Pigouvian atau regulasi yang mencegah privatisasi sektor care​.

Metode Pengukuran Kontekstual

Kebudayaan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori: barang publik, komunal, klub, dan privat. Barang publik memiliki sifat non-rivalrous dan non-excludable, seperti bahasa, ritus adat, dan cerita rakyat, yang dapat dinikmati semua orang tanpa mengurangi ketersediaannya. Barang komunal, seperti cagar budaya dan hutan adat, bersifat rivalrousnamun non-excludable, di mana pemanfaatannya dapat mengurangi ketersediaan tetapi tidak dapat dibatasi aksesnya. Pengelolaan barang publik dan komunal perlu memastikan keberlanjutan dan aksesibilitasnya, melalui regulasi dan kolaborasi komunitas agar tidak dieksploitasi secara berlebihan dan tetap bisa dinikmati oleh generasi mendatang.

Sementara itu, barang klub bersifat non-rivalrous dan excludable, seperti film komersial atau konten digital berlangganan yang aksesnya dapat dibatasi, namun konsumsi oleh satu individu tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk menikmatinya. Barang privat, seperti kerajinan tangan dan produk fesyen, bersifat rivalrous dan excludable, di mana konsumsi satu pihak mengurangi ketersediaannya dan aksesnya bisa dibatasi. Untuk kedua kategori ini, tantangannya adalah memastikan agar nilai ekonomis yang dihasilkan tidak mengorbankan nilai budaya yang lebih luas. Regulasi yang mendukung distribusi keuntungan yang adil dan penghargaan terhadap sumber budaya aslinya sangat penting untuk mencegah komodifikasi berlebihan yang merusak ekosistem budaya.

Atas dasar Kontribusi kebudayaan terhadap pembangunan tidak dapat diukur hanya dari sudut pandang ekonomi. Selain Economic Return on Investment (ERoI), penting untuk mempertimbangkan Social Return on Investment (SRoI) dan Cultural Return on Investment (CRoI). ERoI tepat digunakan untuk mengukur kontribusi ekonomi dari budaya sebagai barang klub dan privat yang memang berorientasi pada komodifikasi, seperti film komersial, musik, atau kerajinan tangan. ERoI fokus pada aspek pertumbuhan ekonomi, seperti peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan kontribusi terhadap PDB. Meskipun begitu, penggunaan ERoI saja dapat mengabaikan dimensi sosial dan kultural yang juga penting, sehingga tidak cukup untuk menilai dampak kebudayaan secara menyeluruh.

Sebaliknya, SRoI dan CRoI berfungsi untuk mengevaluasi kontribusi sektor kebudayaan sebagai barang publik dan komunal. SRoI mencakup kontribusi kebudayaan terhadap ketahanan sosial dan kualitas hidup, misalnya melalui peningkatan toleransi, kesejahteraan masyarakat, dan kohesi sosial. Sementara itu, CRoI mengukur dampak budaya dalam hal pelestarian dan pengayaan identitas budaya, diversitas, serta kebahagiaan masyarakat. Penggunaan SRoI dan CRoI menjadi penting dalam konteks barang publik seperti adat istiadat dan ritus tradisional, atau barang komunal seperti cagar budaya, yang lebih difokuskan pada pemeliharaan nilai-nilai sosial dan kultural daripada keuntungan ekonomi langsung. Dengan mengintegrasikan ketiga indikator ini, kita dapat memahami dampak budaya secara lebih seimbang dan menentukan kebijakan yang adil serta berkelanjutan.

Siklus Pelumbungan Kebudayaan 

Kebudayaan sebagai barang milik bersama (cultural commons), sebagai penjumlahan dari barang publik dan komunal, adalah fondasi dari semua ekspresi budaya (sebagai barang klub dan privat). Cultural commons ini adalah hasil dari interaksi sosial yang melibatkan banyak orang selama berabad-abad, bukan ciptaan individu semata. Konsep ini menegaskan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang bisa sepenuhnya dimiliki atau dikendalikan oleh individu atau entitas tertentu, melainkan merupakan kekayaan bersama yang harus dikelola dan dilindungi demi kesejahteraan publik. Namun, dalam praktiknya, banyak unsur dari cultural commons ini yang kemudian dikomodifikasi, dijadikan barang milik pribadi, dan dimanfaatkan untuk keuntungan privat, seringkali tanpa penghargaan yang cukup terhadap sumber daya kolektif dari mana mereka berasal.

Siklus pelumbungan (commoning) kebudayaan bertujuan untuk mempertahankan dan memperkuat keberadaan cultural commons, serta memastikan bahwa mereka tidak terperangkap dalam proses privatisasi yang merugikan masyarakat luas. Siklus ini dimulai dengan proses perawatan (caring) cultural commons, yang mencakup kegiatan inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, dan penetapan objek budaya yang dianggap penting bagi identitas dan kehidupan bersama. Misalnya, pengetahuan tradisional tentang pengobatan herbal atau teknik pertanian lokal harus didokumentasikan dan dilindungi agar tidak hilang atau disalahgunakan. Perawatan ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa kebudayaan tetap dapat diakses dan digunakan oleh semua orang, tanpa terancam oleh klaim kepemilikan individu atau komersialisasi yang berlebihan.

Langkah berikutnya dalam siklus pelumbungan adalah perluasan cultural commons, yaitu upaya untuk memperluas akses dan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan, pelibatan komunitas dalam pengelolaan situs budaya, atau program-program yang mengajak partisipasi aktif dari berbagai sektor. Proses ini juga bertujuan untuk melawan "accumulation by dispossession" di mana produk-produk budaya dirampas oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan komersial tanpa memberikan manfaat kepada ekosistem yang memungkinkan adanya produk-produk budaya tersebut.

Tahap ketiga adalah pemanfaatan cultural commons, baik untuk tujuan non-ekonomi (mutualisasi) maupun ekonomi (komodifikasi). Pada tahap mutualisasi, cultural commons dimanfaatkan untuk tujuan pendidikan, reproduksi sosial, dan pengayaan komunitas tanpa tujuan komersial. Misalnya, pengetahuan tradisional tentang upacara adat bisa digunakan untuk memperkuat identitas budaya komunitas tanpa harus dijadikan atraksi wisata yang menguntungkan. Baru setelah tahap ini, cultural commons dapat dikomodifikasi dengan cara yang adil dan berkelanjutan, seperti melalui pengelolaan hak kekayaan intelektual (HKI) yang bijak. 

Tahap keempat, setelah komodifikasi, hasil-hasil ekonomi yang diperoleh harus dikembalikan ke masyarakat melalui proses redistribusi (dekomodifikasi). Pemerintah harus berperan sebagai steward of the commons, yang memastikan bahwa hasil-hasil komodifikasi sektor budaya didistribusikan kembali ke masyarakat. Ini dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, seperti Universal Basic Assets, yang memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses terhadap hasil-hasil pemanfaatan kebudayaan. Dengan demikian, siklus pelumbungan cultural commons ini dapat memastikan bahwa kebudayaan tetap berfungsi sebagai barang milik bersama yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat, bukan hanya segelintir orang.

Kebudayaan sebagai barang milik bersama memiliki peran penting dalam memastikan pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Dengan memposisikannya sebagai bagian dari Domain Reproduksi, kita dapat menjaga agar kebudayaan tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Untuk mencapai hal ini, diperlukan kebijakan yang mendukung internalisasi externalities, pengukuran yang adil terhadap kontribusi kebudayaan, dan pengelolaan cultural commons yang adil. Dengan cara itulah kebudayaan dapat menjadi unsur yang memulihkan patahan metabolik antara Domain Reproduksi dan Domain Produksi, serta mendukung pembangunan nasional yang lebih holistik dan berkelanjutan.

*Penulis: Martin Suryajaya - Pengajar Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta

Konten Eksklusif Lainnya

  • 27 September 2024

  • 26 September 2024

  • 25 September 2024

  • 24 September 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan