maaf email atau password anda salah


Pantau Gambut

Ancaman Lingkungan akibat Pembukaan Food Estate

Masalah pangan di Indonesia adalah distribusi yang tidak merata, bukan pada stok.

arsip tempo : 171394430858.

Diskusi Indonesia Forest Forum - Mengulik Logika Food Estate, Senin, 22 November 2021.. tempo : 171394430858.

Kebijakan food estate atau program lumbung pangan nasional merupakan sebuah konsep pengembangan pangan yang terintegrasi dengan pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan. Program ini dirancang untuk mempersiapkan ketahanan pangan nasional dalam rangka merespon laporan Food and Agriculture Organization (FAO) mengenai ancaman krisis pangan.

Dalam keterangannya, FAO memberikan peringatan dini kepada seluruh pemimpin negara mengenai kemungkinan buruk dampak pandemi Covid-19 terhadap ketahanan pangan. Pemerintah merespon dengan mengeluarkan kebijakan pengembangan pangan terintegrasi atau food estate.

Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, mengatakan, berdasarkan data yang ada stok komoditas pangan Indonesia masih dalam kondisi aman. "Bahkan Indonesia mengekspor selama delapan bulan pertama pada tahun ini,” ujarnya, dalam Tempo Indonesia Forest Forum 'Mengulik Logika Food Estate' yang disiarkan di Youtube Tempodotco, Senin, 22 November 2021.

Menurut Iola, peringatan FAO menekankan pada distribusi akibat kebijakan pembatasan mobilitas selama pandemi. " Masalah distribusi pangan juga sebenarnya sudah sejak lama menjadi PR kita yang belum terselesaikan,” kata dia.

Tak hanya itu, Iola melanjutkan, ada permasalahan juga selain distribusi, yaitu lahan pertanian existing yang beralih fungsi akibat proyek-proyek pembangunan, termasuk proyek negara. "Itu sebabnya dicari lahan lain tapi indikator pemilihan lahannya perlu dipertanyakan juga, kenapa di situ, bagaimana kecocokan lahannya, bagaimana pemilihan tanaman komoditasnya, bagaimana dengan masyarakatnya? seperti misalnya ada beberapa area provinsi yang ditargetkan menjadi food estate, di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua.”

Adapun, jika food estate untuk komoditas padi berada di atas lahan gambut, maka produktivitasnya tidak akan maksimal. "Sudah ada beberapa kajian perbandingan, hasil panen padi di lahan gambut itu kurang lebih sepertiga dari lahan mineral yang dipakai buat pertanian. Jadi produksinya tidak maksimal, effort-nya lebih besar terus juga dampak kerusakan lingkungan itu diprediksi akan besar juga," kata Iola.

Di bawah tanah gambut, Iola melanjutkan, ada yang namanya sedimen pirit. Apabila terekspos pada saat lahannya diolah lalu zat tersebut bersentuhan dengan oksigen, pirit akan menjadi zat beracun yang dapat mencemari tanah dan juga sumber air di sekitarnya. “Jadi kalau ditanam di situ kemungkinan gagalnya sangat besar," ujarnya.

Menurut Iola, lahan di Kalimantan Tengah yang kini sedang dalam pengerjaan program food estate padi dan singkong, juga sudah berulang kali mengalami kebakaran, dari 2015-2020 saja total sudah 950-ribuan hektar lahan yang terbakar dan sekitar 718 ribu hektare lahan terindikasi mengalami deforestasi, termasuk di dalam kawasan gambut.

Peta area eks PLG Kalimantan Tengah (No-go Zone area yang berwarna orange adalah area kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang perlu dilindungi dan dihindari dalam pengembangan program food estate untuk kawasan pertanian karena merupakan area bergambut lebih dari 1 meter, area gambut bervegetasi hutan dan area gambut lindung. Data olahan Pantau Gambut yang bersumber dari; data deforestasi dari geoportal KLHK, data blok eks-PLG Kementerian Pertanian dan data No-go Zone Area dari WRI Indonesia.

 

Selain bencana kebakaran, Kalimantan Tengah pun setahun belakangan ini dilanda banjir yang cukup parah. Bencana-bencana ini tak lepas dari besarnya kerusakan hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah. “Pemerintah Indonesia punya komitmen untuk merestorasi lahan gambut melalui Perpres No. 1 tahun 2016 yang saat ini sudah diperpanjang menjadi Perpres No. 120 tahun 2020 dan juga komitmen penurunan laju emisi dari sektor kehutanan yang tertuang dalam dokumen NDC, ini kan jadi dipertanyakan komitmennya, serius apa engga, alih-alih memulihkan dan melindungi yang masih tersisa, hutan dan lahan gambut di Kalimantan Tengah terancam dibuka dan dialihfungsikan untuk proyek masif skala luas”.

Perwakilan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra, mengatakan, di Sumatera Utara ada 42.000 hektar hutan alam yang berada di lokasi yang ditargetkan sebagai food estate. Kemudian di Jambi ada sekitar 32.000 hektar. "Di Kalimantan Tengah ancaman hutan alam dari lokasi food estate ini ada sekitar 156.000 hektar, itu dari Kalimantan Tengah saja," ujarnya.

Menurut Syahrul, di Kalimantan Tengah atau di lokasi food estate di Gunung Mas dari 31.000 hektar yang direncanakan, sekitar 700 hektar sudah dibabat untuk proyek lumbung pangan. "Nah yang terjadi adalah penghancuran hutan. Penghancuran hutan di Kalimantan Tengah dari hampir 700 hektar, yang sudah melepaskan karbon itu sekitar 61 ribu karbon yang sudah terlepas dari pembukaan itu," ujarnya.

Jika kemudian 31.000 hektar lahan dibuka di Gunung Mas, maka akan lebih besar lagi. "Lebih dari 1 juta ton karbon yang akan terlepas ke angkasa. Nah kita sekarang dalam situasi ancaman krisis iklim," tutur Syahrul.

Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas, Anang Noegroho, mengatakan sesuai Undang-undang tentang Pangan, pemerintah pusat dan daerah diminta untuk membangun kawasan sentra produksi pangan. "Jadi saya ingin menggarisbawahi bahwa sebagai negara harus punya apa yang disebut sebagai kawasan sentra produksi pangan atau food estate," ujarnya.

Anang menjelaskan, pada hari pangan sedunia 2019, Sekjen PBB menyampaikan laporan bahwa salah satu tujuan dari pembangunan berkelanjutan yaitu mengurangi terjadinya krisis pangan. Berdasarkan evaluasi PBB secara keseluruhan itu tidak tercapai. "Artinya ada kewaspadaan apabila negara-negara tidak memberikan atensi penuh maka boleh jadi sementara ini berdasarkan proyeksi yang ada terjadi krisis pangan itu," tuturnya.

Dia mengatakan akibat pandemi tidak ada satu negara di dunia yang bisa meramalkan kegiatan ekonomi dan lain sebagainya. "Karena itu dalam rangka kewaspadaan tadi yang menjadi konsen pemerintah adalah bagaimana agar tidak terjadi krisis pangan,” kata Anang.

Karena itu, Anang melanjutkan, pemerintah mengkonsolidasikan semua upaya untuk mencegah krisis pangan ini. Kebijakan pemerintah tentang pangan adalah mendekatkan sumber dengan konsumen.

Perwakilan dari Indonesia Center Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, mengatakan pemerintah sah saja membuat kebijakan food estate untuk menangani krisis pangan. Namun, dia menyoroti alih fungsi lahan seperti di hutan lindung yang berdampak pada lingkungan dan kehutanan. “Karena Peraturan Menteri LHK membolehkan bahwa food estate dilaksanakan di hutan produksi maupun hutan lindung,” ujarnya.

Menurut Adrianus, kalau hutan lindung dibabat akan berdampak kepada lingkungan. “Padahal hutan lindung berfungsi menahan erosi dan banjir.”

Konten Eksklusif Lainnya

  • 24 April 2024

  • 23 April 2024

  • 22 April 2024

  • 21 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan