maaf email atau password anda salah


Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

Hasil Litbang Jadi Dasar Pengelolaan Gambut Berkelanjutan dalam Skala Bisnis

APHI menargetkan ekspor produk hasil hutan kayu dan non kayu bisa mencapai 60 miliar dolar AS di tahun 2045 dan menciptakan lapangan kerja langsung bagi 6,5 juta orang.

arsip tempo : 171405240960.

The Internasional Seminar on Tropical Peatland "Peatlands for Environment, Food, Fiber, Bio-energy and People" yang diselenggarakan Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI), Jumat 22 Oktober 2021.. tempo : 171405240960.

Jakarta - Pelaku usaha kehutanan dan perkebunan di Indonesia melakukan praktik terbaik untuk memastikan lahan gambut bisa dikelola secara berkelanjutan.

Pemanfaatan hasil litbang menjadi dasar untuk memastikan praktik terbaik pengelolaan gambut bisa dilakukan termasuk untuk pengelolaan tata air dan pemilihan spesies tanaman yang bisa dibudidayakan.

Demikian terungkap pada sesi plenary  ke-4 The Internasional Seminar on Tropical Peatland "Peatlands for Environment, Food, Fiber, Bio-energy and People" yang diselenggarakan Perkumpulan Masyarakat Gambut Indonesia (HGI), Jumat 22 Oktober 2021.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo, yang juga Ketua Umum Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI) mengungkapkan, tantangan yang dihadapi dalam pegelolaan gambut diantaranya adalah soal cadangan air dan karbon, subsidensi, dan pencegahan kebakaran.

Selain itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Gambut No 71 tahun 2014 yang diperbarui dengan PP 57 tahun 2016 dan peraturan pelaksananya, muka air gambut dibatasi paling rendah 0,4 meter dari permukaan.

Terkait PP Gambut, menurut Indroyono, sebanyak 68 pemegang izin hutan tanaman yang  telah membuat dokumen pemulihan dengan luas areal mencakup 2,2 juta hekatre dengan 5,669 unit titik pemantauan penaatan dan 8.012 sekat kanal yang dibangun.

"Tujuan dari pengelolaan gambut untuk hutan tanaman adalah mengatur tinggi muka air agar gambut tetap lembap, bisa mencegah kebakaran dan subsidensi, namun tetap bisa optimal untuk pertumbuhan tanaman," katanya.

Indroyono menyatakan pemantauan dan pengendalian di lapangan terus dilakukan untuk memastikan tinggi muka air dan karakter gambut.  Ia juga menambahkan pengendalian dan pemantauan tinggi muka air menjadi bagian dari penurunan emisi.

Menurut Indroyono, penerapan praktik terbaik pengelolaan gambut oleh manajemen hutan tanaman diharapkan bisa mendukung tersedianya bahan baku kayu yang dibutuhkan untuk memasok industri di tanah air.

APHI menargetkan ekspor produk hasil hutan kayu dan non kayu bisa mencapai 60 miliar dolar AS di tahun 2045 dan menciptakan lapangan kerja langsung bagi 6,5 juta orang.

Sementara itu peneliti dari Sinar Mas Forestry Corporate R&D, Budi Tjahjono menjelaskan untuk mengimplementasikan praktik terbaik pengelolaan gambut, pihaknya melakukan penelitian untuk pengembangan spesies tanaman alternatif selain Acacia crassicarpa.

"Penelitian dilakukan bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, UGM, dan Deltares," katanya.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Siak dengan 14  percobaan. Spesies tanaman yang diteliti diantaranya adalah balangeran (Shorea balangeran), gelam (Melaleuca leucadendra), geronggang (Cratoxylon arborescens), dan terentang (Camnosperma coriaceum).

Spesies tanaman yang dicari adalah memiliki pertumbuhan yang cepat dan karateristik serat yang sesuai dan lebih tahan basah, dengan muka air paling rendah antara 0-0,25 meter dari permukaan.

Menurut Budi, dengan tinggi muka air tersebut tanaman yang dimafaatkan saat ini, Acacia crassicarpa memang masih bisa tumbuh cepat pada usia 0-6 bulan. Namun kemudian melambat dengan tingkat kematian yang tinggi. Sementara spesies lain seperti balangeran, gelam, dan geronggang masih bisa tumbuh dengan relatif baik.

Budi juga mengungkapkan, pihaknya bersama KLHK juga melakukan penelitian perbenihan dan pembibitan untuk spesies-spesies alternatif tersebut. Hasilnya, balangeran dan geronggang sudah bisa diperbanyak dengan memanfaatkan teknologi tissue culture sehingga menjamin kualitas pohon yang dihasilkan.

Dari hasil penelitian, kata Budi, balangeran dan gelam potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman alternatif di hutan tanaman karena memiliki produktivitas relatif tinggi di area basah, mencapai masing-masing 45,8 m3/ha dan  39,77 m3/ha setelah 4 th.  Meskipun ini belum sebanding dg produktivitas Acacia crassicarpa di area gambut normal yg bisa mencapai 120 m3/ ha pada umur 4 th.

Sementara itu pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bandung Sahari menyatakan pelaku usaha perkebunan sawit juga berkomitmen untuk menerapkan pengelolaan gambut terbaik.  Dia menyatakan pemanfaatan gambut untuk perkebunan sawit berkelanjutan telah terbukti salah satunya di Labuanbatu, Sumatera Utara, yang telah berusia lebih dari 100 tahun.

Konten Eksklusif Lainnya

  • 25 April 2024

  • 24 April 2024

  • 23 April 2024

  • 22 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan