maaf email atau password anda salah

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Google

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini

Satu Akun, Untuk Semua Akses


Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Satu Akun, Untuk Semua Akses

Masukan alamat email Anda, untuk mereset password

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link reset password melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Ubah No. Telepon

Ubah Kata Sandi

Topik Favorit

Hapus Berita

Apakah Anda yakin akan menghapus berita?

Ubah Data Diri

Jenis Kelamin


Abdi Dalem

Heri Priyatmoko,
ALUMNUS PASCASARJANA SEJARAH FIB, UGM

Ada guru, ada murid. Ada pemimpin, ada anggota. Ada tuan, ada hamba. Ada gusti, ada kawula. Ada raja, ada abdi dalem. Yang disebutkan paling belakang, posisinya sebagai pengikut, bukan pengatur. Menurut kacamata ilmiah budayawan Jacob Sumardjo (2003), relasi ini merupakan karakter komunal-paternalistik yang berkembang di masyarakat yang infrastruktur aslinya adalah bersawah atau agraris.

Corak kerajaan di pedalaman Jawa ialah agraris, sehingga gampang ditemukan kenyataan historis relasi raja-abdi dalem, yang kemudian dikekalkan dalam istilah jumbuhing kawula-gusti. Pelukisan ini dramatis. Sebab, kata kawula dan gusti menunjukkan status manusia yang paling rendah dan yang tertinggi di masyarakat. Pakar sejarah Mataram Islam termasyhur, Soemarsaid Moertono, memotret fenomena jumbuhing kawula-gusti secara simbolis dilukiskan dengan "sarung memasuki mata keris" (warangka manjing curiga). Sarung adalah manusia, dan mata keris merupakan personifikasi dari Tuhan. Raja pada periode Jawa-Hindu dianggap titisan dewa-dewa. Selepas Majapahit jatuh dan Islam dipakai sebagai agama "negara", raja pun diposisikan sebagai wali Tuhan. Pendek kata, kedudukan politik, religi, dan kultural raja tetap dianggap oleh masyarakatnya berada di puncak.

arsip tempo : 171352217515.

. tempo : 171352217515.

Heri Priyatmoko,
ALUMNUS PASCASARJANA SEJARAH FIB, UGM

Ada guru, ada murid. Ada pemimpin, ada anggota. Ada tuan, ada hamba. Ada gusti, ada kawula. Ada raja, ada abdi dalem. Yang disebutkan paling belakang, posisinya sebagai pengikut, bukan pengatur. Menurut kacamata ilmiah budayawan Jacob Sumardjo (2003), relasi ini merupakan karakter komunal-paternalistik yang berkembang di masyarakat yang infrastruktur aslinya adalah bersawah atau agraris.

Co

...

Berlangganan untuk lanjutkan membaca.
Kami mengemas berita, dengan cerita.

Manfaat berlangganan Tempo Digital? Lihat Disini

PILIHAN TERBAIK

Rp 54.945/Bulan

Aktif langsung 12 bulan, Rp 659.340

  • *Anda hemat -Rp 102.000
  • *Dijamin update hingga 52 edisi Majalah Tempo

Rp 64.380/Bulan

Aktif setiap bulan, batalkan kapan saja

  • *GRATIS untuk bulan pertama jika menggunakan Kartu Kredit

Lihat Paket Lainnya

Konten Eksklusif Lainnya

  • 19 April 2024

  • 18 April 2024

  • 17 April 2024

  • 16 April 2024


Jurnalisme berkualitas memerlukan dukungan khalayak ramai. Dengan berlangganan Tempo, Anda berkontribusi pada upaya produksi informasi yang akurat, mendalam dan tepercaya. Sejak awal, Tempo berkomitmen pada jurnalisme yang independen dan mengabdi pada kepentingan orang banyak. Demi publik, untuk Republik.

Login Langganan