Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT:
Kebiri Kimia Itu Tidak Permanen
Di sela-sela layanan di sebuah rumah sakit rujukan Covid-19, dokter Moh. Adib Khumaidi, SpOT masih sibuk memantau ribuan dokter yang bertugas. Hal itu terkait dengan jabatannya sebagai Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Ketua IDI terpilih periode 2021-2024, Ketua Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), dan Ketua Tim Mitigasi Covid IDI.
Kesibukannya pun bertambah padat. Ia mengatakan pandemi memperlihatkan aneka persoalan dalam dunia kesehatan di Indonesia. “Perlu untuk melakukan refleksi kemandirian negara terkait dengan obat, alat kesehatan, dan vaksin,” kata Adib saat berbincang dengan Dian Yuliastuti dari Tempo, Rabu malam lalu, melalui telepon aplikasi.
Bukan hanya soal pandemi, perbincangan itu juga menyinggung persoalan hukum kebiri yang kembali hangat setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 baru-baru ini. Menurut dia, kebiri itu tidak efektif. “Sifat kebiri kimia ini tidak permanen, harus dilakukan berulang,” ujarnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 tentang hukuman kebiri sudah disahkan. Kalangan dokter menolak sebagai eksekutor?
Soal hukum kebiri mengemuka kan sejak 2016. Lalu, pada 2019, Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan hukuman kebiri. Caranya disuntikkan cairan kimia, ya, obat hormonal. Tapi siapa yang menjalankan sebagai eksekutor? Ini menjadi pertanyaan. Kalau dokter, ini akan ada problem etik dan sumpah jabatan yang menjadi rohnya dokter sebagai agen penyembuh. Saat menyuntikkan cairan kebiri kimia itu, ada efek. Cairan antiandrogen dan antitestoteron ini akan berefek pada masalah penyumbatan pembuluh jantung dan pengeroposan tulang. Ini bisa membuat sakit dan merugikan. Ini menjadi dasar kita.
Bagaimana dengan tenaga kesehatan lain?
Memang perlu didiskusikan dengan pemerintah bagaimana petunjuk teknisnya, siapa yang menjadi eksekutornya, dan dituangkan melalui Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan). Kami akan diskusikan juga dengan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI). Tapi sudah ada fatwa MKKI, dokter tidak bisa menjadi eksekutor. Tapi masih bisa masuk dalam aspek pemeriksaan klinis dan rehabilitasi. Perlu harmonisasi peraturan melalui Permenkes, tentang hal-hal teknis dan melibatkan semua anggota profesi IDI, IBI, dan PPNI.
Apakah hukuman ini efektif?
Tidak efektif dari sudut pandang kedokteran. Karena sifat kebiri kimia ini tidak permanen, harus dilakukan berulang. Akan sampai berapa lama. Satu dosis juga tergantung obatnya, bisa sembilan bulanan, bukan tahunan. Kalau efeknya habis, ya, bisa muncul lagi. Dan biayanya mahal. Ini merupakan cairan kimia seperti yang biasa dipakai untuk pengobatan kanker prostat. Efek dan pembiayaan juga penting. Dalam kasus pedofilia ini yang belum pernah dibahas adalah pemulihan korban, padahal ini penting. Rehabilitasinya juga berat dan harus mendapat perhatian.
Adib Khumaidi (tengah) bertemu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat audiensi Tim Mitigasi IDI di Jakarta, Oktober 2020 . Dok. IDI
Di luar soal kebiri, selama masa pandemi banyak dokter menjadi korban...
Menurut data kami, sedikitnya 239 dokter meninggal di seluruh Indonesia pada Maret-Desember 2020. Rekornya pada Desember, 53 meninggal
Bagaimana IDI melihat kebijakan pemerintah?
Pandemi ini menunjukkan wajah problematika kesehatan dari pelayanan, pembiayaan, kemampuan fasilitas, ketersediaan SDM, alat, obat, kemampuan industri dan teknologi obat, alat kesehatan, hingga vaksin. Benar-benar diperlihatkan. Dalam kondisi normal saja semua belum selesai, masih menjadi masalah. Pada saat pandemi, negara ini diuji. Selama ini jika kekurangan obat bisa di-support dari negara lain. Tapi kini semua negara mengalami hal yang sama. Jadi, perlu melakukan refleksi kemandirian negara terkait dengan obat, alat kesehatan, dan vaksin. Persoalan lainnya, ketersediaan sarana dan prasarana, alat, serta obat di seluruh fasilitas kesehatan dan rumah sakit tidak merata. Ada yang punya kemampuan lebih, tapi yang banyak kurang.
Selain itu?
Ada problem kampanye preventif promotif yang harus dilakukan di puskesmas dan fasilitas kesehatan primer. Selama ini puskesmas dengan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) lebih berfokus pada kuratif. Upaya preventif dan promotifnya belum. Perlu revitalisasi puskesmas. Bicara pandemi ini problem health emergency kedaulatan kesehatan masyarakat, seharusnya bisa diupayakan dengan promotif preventif. Dalam strategi, ada hal-hal yang kurang, misalnya pengambilan kebijakan, seperti tidak konsisten mulai dari restriksi.
Bagaimana seharusnya?
Seharusnya di awal bisa dilakukan restriksi orang lain masuk ke negara ini dan restriksi kewilayahan itu. Dengan demikian, benar-benar terseleksi, screening dilakukan dengan baik. Kemudian mapping, melakukan testing tracing treatment, seperti treatment faskes dan SDM mapping di setiap wilayah. Misalnya, berapa banyak rumah sakit, jumlah ICU, dan ruang isolasi, harus update real-time. Harus berbasis data, ini harus diperbaiki. Ini belum terintegrasi.
Hal lain terkait dengan pemberian informasi yang benar dan transparan untuk perubahan perilaku masyarakat. Selama ini sulit karena masyarakat tidak mendapat informasi yang benar. Perlu upaya bersama pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan semua pihak. Masyarakat ini garda terdepan, kami (dokter) benteng terakhir.
Ruang atau tempat tidur bisa ditambah, tapi jumlah tenaga medis kurang karena menjadi korban...
Kalau penambahan jumlah dokter gampang. Toh, ada 12 ribu dokter per tahun. Tapi menambah dokter dengan kualifikasi kemampuan tidak mudah, harus ada pelatihan. Sedangkan yang meninggal ini para senior, guru, dan guru besar yang tugasnya seharusnya mendidik. Kita kehilangan tenaga pendidikan.
Dokter dan tenaga kesehatan yang meninggal terbanyak ada di Jawa Timur. Apa faktor utamanya?
Data kami per Agustus 2020, di Jatim sebanyak 26 persen dokter umum praktik pribadi dan 23 persen di puskesmas, klinik, serta spesialis. Risiko paparan pada pelayanan faskes tingkat primer, klinik mandiri, dan puskesmas. Mungkin screening, tidak adequat, tata kelola ruangan, dan pasien OTG cukup banyak menjadi risiko karena mobilitas warga yang tinggi dan kepatuhan 3M dan protokol kesehatan yang rendah. Ini yang memicu angka paparan dan risiko di Jatim.
Dokter spesialis apa saja yang banyak menjadi korban?
Dari jumlah yang meninggal, 239 orang, dokter umum sebanyak 131 orang dan 101 dokter spesialis, ada semua bidang. Yang teratas spesialis penyakit dalam, kandungan, anak, bedah, THT, dan spesialis paru. Ini karena modalitas screening, di awal hanya modal rapid, bukan antigen. Sekarang antigen cukup membantu.
Harapannya screening benar-benar diperhatikan. Karena salah satu upaya terhindar dari penularan dengan screening baik. Masalahnya di puskesmas dan klinik, tidak seperti itu. Dengan demikian, pasien datang ke klinik menjadi sumber penularan.
Upaya perlindungannya?
Kami sampaikan, para dokter yang melakukan layanan harus sesuai dengan SOP, APD standar dari gown, sarung tangan, face shield, hingga masker N95. Itu menjadi prasyarat di pelayanan primer. Problem faskes primer tidak terfasilitasi seperti itu. Survei kami, juga masih di Jawa Timur, sebanyak 43 persen masih belum mendapat APD standar.
Upaya mitigasi?
Soal mitigasi dari konsep yang dilakukan tim mitigasi, yakni doctor save dan doctor protect.
Bagaimana mengatasi agar dokter tidak sampai kelelahan?
Kita bicara aspek perlindungan secara internal dan eksternal. Kepatuhan protokol dan kedisiplinan harus tetap tinggi. Jangan abai. Di buku standar protokol, bukan hanya saat pelayanan, melainkan juga di komunitas dan keluarga. Lalu ketersediaan APD, beban kerja, jangan tambah jam kerja. Maksimal enam jam untuk perawatan di ruang ICU, isolasi.
Lalu ketahanan mental mereka. Berdasarkan survei ketahanan mental Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, risiko depresi burn out dokter dan tenaga kesehatan 83 persen di DKI Jakarta. Kami melakukan survei terhadap dokter residen pada Agustus 2020, sebanyak 23 persen burn out, 15 persen depresi. Solusinya kami lakukan rolling, pola layanan bentuk tim dan laksanakan konsep mitigasi tadi. Dapat fasilitas PCR gratis dan rutin. Sayang, belum semua menyediakan.
Pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Jawa-Bali. Bagaimana menurut IDI?
Idealnya lockdown. Tapi melihat situasi saat ini, pandemi berdampak terhadap sosial, ekonomi, psikologis, keamanan, dan politik, enggak mungkin lockdown. Kebijakan ini harus benar-benar dihitung dengan matang. Yang bisa kita lakukan, laksanakan PSBB bukan sekadar penyampaian saja. Pengawasan pelaksanaannya juga harus ketat di segala aktivitas masyarakat, perkantoran, publik, dan transportasi. Kalau tanpa pengawasan ketat, ya, sama saja, masih diragukan efektivitasnya. Walau ada vaksin (nanti), protokol kesehatan untuk 3 M tetap dilakukan. Setidaknya ini harus menjadi habit selama 1-2 tahun ke depan. Bukan hanya Covid, tapi juga penyakit lain atau pandemi lain yang bisa terjadi di masa mendatang.
Apa pengalaman Anda saat pandemi yang paling berkesan?
Ketika membantu teman mendapatkan rumah sakit. Di satu sisi harus menolong orang, tapi di sisi lain RS penuh. Saya telepon kolega, cari ruangan. Akhirnya dapat di RSCM meski dengan usaha keras, ventilator juga susah, berhasil ditolong dan sembuh. Pengalaman sangat mendalam, menjadi role model, terlepas sejawat sangat membantu.
Adib Khumaidi dan tim Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia membawa bantuan medis untuk korban gempa bumi dan tsunami di Palu, 2018. Dok. IDI
Pengalaman menangani bencana?
Saya pernah ikut penanganan bencana gempa di Iran pada 2004. Saat itu saya masih dokter umum. Harusnya cuma dua minggu, malah jadi dua bulan di sana. Tapi dari sana saya belajar banyak. Salah satunya tentang sistem penanganan medis, sistem bencana RS lapangan yang cukup bagus saat itu. Saya berangkat bersama tim Kostrad TNI, membawa perlengkapan RS lapangan. Ditanya kualifikasi, keahlian untuk bisa bantu di RS mereka. Seperti ortopedi bisa, kalau dokter umum cukup di RS lapangan. Dari situ, saya terdorong mengambil spesialisasi ortopedi. Selain di Iran, saya belajar banyak di bencana gempa tsunami Aceh.
Mengapa Anda tertarik di emergency kebencanaan?
Waktu itu PTT saya di siaga kebencanaan. Dokter bencana dibentuk waktu era Menkes Sujudi, saya angkatan pertama. Setelah itu terus. Di wilayah bencana membentuk jiwa, mindset, bikin keputusan cepat, dan makin kuat jiwa kedaruratannya. Apalagi Indonesia ini supermarket bencana. Butuh lebih banyak dokter emergency. Kami mendorong para dokter untuk lebih banyak lagi yang mendalami ilmu kedaruratan.
Sejak kapan Anda suka berorganisasi?
Sejak sekolah suka berorganisasi. Waktu mahasiswa sudah berkecimpung di organisasi sampai sekarang.
Kegiatan untuk relaksasi?
Saya ini hobi musik dan tanaman. Sebagai vokalis biasanya. Tapi tidak bisa nyanyi sekarang, ha-ha-ha. Dulu suka anggrek. Berkebun ini jadi upaya relaksasi. Ya, mengurusi beberapa tanaman yang lagi hit sekarang, monstera atau caladium red baret dan dragon skill.
Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT
Lahir : Lamongan, 28 Juni 1974
Presiden Elect IDI 2021 - 2024, Adib Khumaidi. Dok. IDI
PENDIDIKAN:
2011: Lulus sebagai spesialis ortopedi dan traumatologi - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
1999: Lulus dokter umum - FK Universitas Airlangga Surabaya
2018-sekarang: Mahasiswa program doktor (S-3) FK Universitas Hasanuddin
2002- 2015: Berbagai pelatihan, training instruktur Medical First Responder (MFR), bedah, ortopedi, dan traumatologi di Indonesia, Singapura, Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan
PENGALAMAN KERJA:
- 2011-sekarang Dokter SpOT Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat; dan RSU Sari Asih, Karawaci, Tangerang.
- 2003-2005 Dosen tidak tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- 2002-sekarang Instruktur MFR, BLS, dan BTCLS AGD 118 serta Program PEER USAID.
- 2006-sekarang Dosen Tetap Fakultas Kedokteran dan Kesehatan (FKK) Universitas Muhammadiyah Jakarta.
- 2013-2017 Anggota Senat Fakultas FKK UMJ.
- 2015-2016Wakil Dekan III FKK UMJ.
PENGALAMAN PROFESI:
- Tim Bantuan Kemanusiaan Gempa Bumi Bam di Iran pada 2004
- Ketua Pelaksana Harian Bencana Gempa dan Tsunami Aceh PB IDI pada 2005
- Executive Officer Tim Brigade Siaga Bencana (BSB) Pusat DEPKES RI pada 2002
-Tim Penilai Kesehatan Calon Hakim Agung Republik Indonesia, PB IDI-Komisi Yudisial RI, pada 2006
- Tim penilai kesehatan capres dan cawapres pada 2014 dan 2018
- Anggota pokja registrasi Konsil Kedokteran Indonesia
- Pengaju uji materi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Ketua Tim IDI
ORGANISASI:
- Ikatan Dokter Indonesia
- Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia
- Perhimpunan Ahli Bedah Orthopaedi dan Traumatologi (PABOI)
- Ikatan Kedokteran Laser Indonesia (IKLASI )-The Indonesian Society for Laser Medicine
- Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat/Penanggulangan Bencana Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) pada 2003-2006
- Sekretaris Jenderal PDEI pada 2003-2005
- Ketua Tim Pelaksana Harian Penanggulangan Bencana Aceh PB IDI-Aliansi Formatur Aceh pada 2005
- Anggota Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI) Pusat 2014-2017
- Pengurus PP PABOI 2010-2012 pada 2012-2014
- Anggota Bidang Kesejahteraan dan Kesehatan (Kesjakes) ICMI Pusat
- Sekjen PB IDI 2015-2018
- Sekjen PP PABOI 2016-2019, 2019-2022
- Ketua Umum PP PDEI 2015-2018, 2019-2022
- Ketua terpilih/Wakil Ketua Umum 1 PB IDI 2018-2021
- Duta Muda APOA Antlya Turki pada 2018