Mamik Padmiati, 57 tahun, sibuk mengulek bumbu rujak pesanan warga sekitar di Kantor Desa Dukuh Dempok, Wuluhan, Jember, siang itu. Rekannya, Indah, melayani pembeli yang memesan teh manis. Kantor desa ramai sejak pagi. Halamannya penuh dengan sepeda motor yang diparkir sembarangan. Aula desa tak sepi dari acara rapat.
Keramaian itu menjadi berkah bagi Mamik dan Indah yang menjajakan penganan di gerai dekat pintu kantor desa tersebut. Sejak pagi hari, pesanan makanan dan minuman datang silih berganti. Dagangan mereka laris manis. "Pada hari-hari biasa, kami datang pada pukul tujuh pagi dan pulang sekitar pukul dua atau tiga sore. Saat ada acara, kami bisa sampai malam hari ada di sini," kata Mamik, pertengahan November lalu.
Di ruang seluas 32 meter persegi itu, Mamik tak hanya menjual makanan dan minuman. Tampak beberapa unit mesin jahit berbagai merek berjajar di sudut ruangan. Rupanya, Mamik juga menerima pesanan menjahit baju. "Selain memperoleh pemasukan dari menjual makanan dan minuman, kami mendapat penghasilan dari menjual masker ataupun jasa layanan menjahit."
Usaha berjualan makanan dan menjahit itu dilakoni Mamik selama dua tahun terakhir. Sebelumnya, ibu tiga anak ini menjadi buruh migran di Malaysia sejak 1999. Selama 16 tahun bekerja di negeri jiran, ia hanya empat kali pulang kampung.
Pada 2015, Mamik memutuskan pulang. Tapi ia bingung harus bekerja apa. "Karena belum punya usaha, saya bekerja di sawah sebagai buruh matun. Buruh petik lombok, tomat, atau apa pun untuk menambah pamasukan sehari-hari," tutur Mamik.
Setelah lewat setengah tahun menjadi buruh sawah, Mamik bercerita, ada pendataan dari Migrant Care untuk program Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi). Sebab, desa itu merupakan salah satu kantong migran. Seorang temannya, Marfuah, lantas memasukkan data diri Mamik ke organisasi itu. Tak lama kemudian, ia menerima undangan untuk datang ke balai desa. "Di sana ada sosialisasi dari Migrant Care. Kami diajari juga soal organisasi. Saya kemudian menjadi anggota Desbumi," katanya.
Selanjutnya, Mamik melanjutkan, ia bersama bekas pekerja migran lain mendapat pelatihan-pelatihan untuk membuka usaha. Mereka diajari membuat kue, seperti opak gulung, lalu keripik tempe dan minuman sari jahe. Pada 2019, outlet Desbumi Desa Dukuh resmi berdiri.
Mereka bak menemukan hujan emas di negeri sendiri. Harapan baru itu mereka sambut dengan sukacita. Mamik pun mengaku tak lagi berniat kembali menjadi buruh migran. "Kerja di rumah membuat saya tidak ingin menjadi buruh migran lagi," ujar dia.
Meski begitu, Mamik mengatakan ia dan rekannya masih kesulitan memasarkan barang produksi. Ia berharap pelatihan demi pelatihan perlu terus dilakukan untuk meningkatkan keterampilan dan kapasitas. "Pernah ada pelatihan, tapi cuma tiga hari. Ilmu yang didapatkan tidak bisa maksimal. Waktu tiga hari itu sebenarnya tidak cukup."
Selain Desa Dukuh, ada tiga desa lain yang ditetapkan sebagai Desbumi, yakni Desa Sabrang, Desa Ambulu, dan Desa Wonoasri. Setelah program itu berjalan, Kementerian Ketenagakerjaan mereplikasi program itu dengan membuat Desa Migran Produktif (Desmigratif). Dari empat Desbumi di Jember, Desa Dukuh dan Desa Sabrang juga merapel sebagai Desmigratif.
Ketua Desbumi Dukuh Dempok, Jumiatun, mengatakan Desa Dukuh menjadi proyek percontohan integrasi kedua program tersebut. "Program Desmigratif ini baru berjalan sejak 2019 dan rencananya berlangsung dua tahun," kata perempuan yang juga menjabat petugas Desmigratif Dukuh Dempok itu.
Jumiatun menjelaskan, ada empat pekerjaan dalam program Desbumi, yakni pendataan dan informasi, peningkatan kapasitas, pengaduan kasus, dan perekonomian. Sedangkan Desmigratif memiliki program layanan migrasi aman, community parenting, usaha produktif, serta koperasi. "Jadi, program Desbumi Dukuh Dempok ini dikuatkan oleh program Desmigratif."
Cuma, tidak semua program berjalan dengan baik. Salah satunya community parenting, layanan pengasuhan anak yang ditinggalkan orang tuanya bekerja di luar negeri. Mereka belum punya keterampilan, sehingga kesulitan menerapkan layanan ini. "Termasuk bimbingan teknis. Bahkan terkadang membutuhkan psikolog untuk mempelajari bagaimana menghadapi anak-anak atau suami yang ditinggalkan, sehingga ada solusi ketika ada satu permasalahan," ujarnya.
Namun bukan berarti tidak ada kegiatan. Anggota berinisiatif membuat forum anak dengan melibatkan pengurus berusia muda dan dibantu mahasiswa kuliah kerja nyata. Cuma, masalah lain, tak semua keluarga mau mengantar si anak pekerja migran untuk mengikuti kegiatan di forum itu.
Anggota Divisi Data dan Informasi Migrant Care, Zulyani Evy, mengatakan ada 37 desa yang ditetapkan sebagai Desbumi di seluruh Indonesia. Komunitas-komunitas di Desbumi cukup kuat karena dibangun dengan melibatkan partisipasi para purna-migran. Selain itu, komunitas ini disokong kepala desa. “Jadi, meski sudah tanpa dukungan Migrant Care, tetap ada mandat dari desa agar mengalokasikan dana desa untuk memberikan layanan dan fasilitas.”
DAVID PRIYASIDHARTA | MAYA AYU PUSPITASARI