Menyusui menjadi pilihan terbaik bagi ibu setelah melahirkan. Namun ada kalanya kondisi ibu membuat sang anak tidak mendapat ASI dengan baik. Salah satunya disebabkan oleh kondisi ibu yang mengalami baby blues syndrome, perasaan sedih dan cemas setelah melahirkan. Penyebab utama hal ini adalah faktor hormonal.
Psikolog Anisa Cahya Ningrum mengatakan kadar hormon estrogen dan progesteron perempuan menurun secara drastis setelah melahirkan. Hal ini bisa menimbulkan perubahan kondisi emosi. Sehingga ibu mengalami perubahan suasana hati, menjadi lebih sensitif, mudah bersedih, depresi, stres, dan juga bisa menjadi cepat marah.
Penyebab lain adalah faktor kelelahan merawat bayi, yang memerlukan energi ekstra setelah ibu melahirkan. “Ibu menjadi kurang tidur, lupa makan, dan kehabisan tenaga untuk merawat bayi. Apalagi jika tidak mendapat dukungan secara fisik maupun mental dari orang-orang di sekitarnya," kata dia saat dihubungi Tempo, Jumat lalu.
Kondisi sulit selama proses persalinan juga bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi ibu. Apalagi bila keadaan bayi tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, ketidaktahuan tentang teknik menyusui bisa membuat ibu frustrasi dan stres, sehingga bisa pula memicu munculnya sindrom ini.
Situasi pandemi Covid-19 menambah kerentanan ibu habis melahirkan terkena baby blues syndrome. “Kondisi pandemi adalah situasi yang tidak jelas kapan akan berakhir, yang membuat situasi tidak nyaman dan mengkhawatirkan,” ucap Anisa.
Setelah melahirkan, ibu merasa khawatir terhadap kondisi kesehatan anak yang akan mengalami kesulitan melakukan imunisasi di pusat pelayanan kesehatan. Sebab, kunjungan masih dibatasi dan harus memenuhi protokol kesehatan. Belum lagi ibu harus menjalani kontrol pasca-melahirkan, hal ini juga akan menjadi beban pikiran.
“Penyebab selanjutnya adalah dukungan dari suami yang secara fisik tampak di depan mata, tapi urusan anak tetap dipegang ibu karena suami sibuk WFH (work from home),” ujarnya. Apalagi, ia menambahkan, jika ibu punya anak sebelumnya yang sudah bersekolah dan harus didampingi proses belajar online-nya. “Tentu beban ibu juga semakin berlapis.”
Faktor lain adalah kondisi finansial yang berbeda dari masa sebelum pandemi melanda. “Hal-hal tersebut akan membuat ibu rentan mengalami kecemasan yang berdampak pada hormon prolaktin dan akan berpengaruh terhadap produksi ASI yang menjadi terhenti atau berkurang,” ucapnya.
Sebenarnya, menurut Anisa, kondisi baby blues syndrome hanya terjadi selama dua pekan setelah melahirkan. Jika lebih dan keadaannya makin parah, kondisi tersebut akan didiagnosis sebagai postpartum depression atau depresi pasca-persalinan.
Ia mengatakan ibu perlu mendapat stimulasi psikologis dari lingkungannya untuk mereduksi perasaan sedih karena sindrom ini. Jangan sampai kondisinya meningkat menjadi depresi pasca-persalinan, yang bisa berdampak lebih buruk dalam menyusui. “Support system memiliki peran sangat besar dalam mencegah terjadinya BBS."
Jadi perlu ditumbuhkan keyakinan bahwa ibu akan mampu menyusui bayinya. Jika merasa kesulitan dalam memberi ASI karena baby blues syndrome, ibu tidak perlu khawatir. Ibu bisa meminta bantuan konselor laktasi untuk dipandu cara-cara tepat menyusui. “Juga akan mendapat edukasi tentang bahan makanan apa saja yang bisa dikonsumsi agar memperbanyak produksi ASI," ucap penasihat komunitas MotherHOPE Indonesia ini.
Selain itu, ibu perlu belajar mengatur waktu, tenaga, dan pikiran agar produksi ASI bisa optimal. Faktor kelelahan dan beban pikiran yang mengganggu akan mempengaruhi produksi ASI. Semakin lelah dan banyak pikiran, semakin berkurang pula kuantitas ASI.
Sebetulnya, menurut Anisa, BBS bisa dicegah sebelum ibu melahirkan. Hal itu dilakukan dengan cara mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang peran baru sebagai ibu dan menyiapkan diri sedini mungkin. Misalnya, melatih diri tentang tata cara merawat bayi, melakukan senam hamil, dan hypnobirthing agar bisa rileks serta melahirkan dengan lancar dan nyaman. Juga mengikuti edukasi tentang teknik menyusui dan bahan makanan yang bisa menstimulasi produksi ASI.
Hal tak kalah penting adalah menyiapkan dukungan sosial, termasuk dari suami, keluarga, serta baby sitter atau asisten rumah tangga dengan pengaturan peran agar mengurangi kelelahan ibu. Sehingga menumbuhkan keyakinan bahwa ibu memiliki kemampuan merawat bayi dan bisa menjadi ibu yang baik. Tak lupa mengkonsumsi makanan bergizi seimbang, istirahat cukup, dan pengaturan finansial yang sesuai dengan kebutuhan biaya persalinan dan perawatan bayi. ***
EKA WAHYU
26