Penjarakan sosial dan fisik selama pandemi Covid-19 berdampak terhadap tekanan psikis pada anak dan remaja. Kesimpulan itu disampaikan spesialis pelindungan anak dari Lembaga Pendanaan Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Ali Aulia Ramly, berdasarkan pantauan dan studi sederhana yang mereka lakukan.
Data itu sekaligus mengkonfirmasi temuan global dengan kesimpulan serupa. Kondisi ini menimbulkan rasa takut berlebih dan kebosanan karena lama berada di rumah. Hal ini merupakan dampak wajar dan banyak terjadi pada anak-anak. “Namun, kita berharap hal ini tidak berlangsung lama," ujar Aulia dalam diskusi virtual yang digagas oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Senin lalu.
Aulia mengatakan ketika masa isolasi, anak dan remaja berisiko mengalami depresi. Kondisi ini tidak hanya terjadi pada fase isolasi, tapi bisa terjadi sebelum fase itu. Selain rasa bosan, Aulia mengatakan depresi terhadap anak juga dipengaruhi oleh kekerasan kepada mereka, bahkan terjadi sebelum ada pandemi.
Dari 1.000 anak yang disurvei secara daring, 200-300 anak mengalami kekerasan selama pandemi. Selain itu, menurut Aulia, kesempatan mendapatkan pendidikan secara daring juga menunjukkan risiko depresi pada anak. "Hal ini juga terjadi secara global. Persoalannya bukan hanya anak di rumah, tapi ada tekanan psikologis ketika kekerasan meningkat di rumah," ujar Aulia.
Menurut Aulia, penting bagi orang tua untuk mendukung anak agar memahami bahwa perubahan suasana emosi merupakan hal normal. Namun, kalau perubahan itu berkepanjangan, orang tua harus mencari bantuan. Orang tua juga perlu mendorong anak dengan membantu dalam kegiatan terstruktur. Selain anak, orang tua perlu memperhatikan kondisi dirinya sendiri.
Direktur Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah mengatakan tekanan psikis atau depresi pada anak tidak dapat dipisahkan dari risiko pandemi. Apalagi sebanyak 30 persen populasi di Indonesia merupakan anak dan remaja. Sekitar 8,1 persen anak itu positif Covid-19, sebanyak 8,6 persen di antaranya dirawat, 8,3 persen sembuh, dan 1,6 persen meninggal.
Risiko paparan pada anak dan remaja membuat opsi isolasi mandiri tidak bisa disepelekan, termasuk dari kegiatan belajar di sekolah. Namun kenyataannya, hanya 68 persen anak yang memiliki akses dari jaringan pembelajaran daring. Sebanyak 32 persen anak yang tidak mendapatkan program belajar dalam bentuk apa pun, harus menjalani proses belajar sendiri. "Kondisi ini turut memicu peningkatan tekanan psikososial," ujar Fidiansjah.
Fidiansjah mengatakan sebanyak 47 persen anak merasa bosan tinggal di rumah, 35 persen anak merasa khawatir ketinggalan pelajaran, dan 15 persen anak merasa tidak aman. Data lainnya, 11 persen anak mengalami kekerasan fisik karena proses belajar dan mengajar tak lazim serta 64 anak mengalami kekerasan verbal. "Hal itu menunjukkan bahwa betapa tinggi persoalan kesehatan jiwa pada anak dan remaja selama masa pandemi Covid-19," tutur dia.
Hal ini, ia melanjutkan, harus diantisipasi cepat dengan bimbingan, serta pelindungan dari keluarga, pengasuh, dan lingkungan. Ia berharap masyarakat peduli, tidak hanya penanggulangan bahaya Covid, tapi persoalan kesehatan jiwa. "Kami harap masyarakat jangan bertumpu pada tenaga profesional yang tentu sangat langka, tapi juga masyarakat (ikut bergerak)."
Psikolog anak Saskhya Aulia Prima mengatakan isolasi mandiri membutuhkan adaptasi, termasuk pada aktivitas anak-anak, baik belajar, ekstrakurikuler, maupun bermain di rumah. Masalahnya, penerimaan pada masing-masing anak berbeda. Sehingga dibutuhkan strategi untuk memberi pemahaman pada kondisi normal baru kepada mereka.
"Mereka pun merindukan kegiatan mereka sehari-hari sebelum masa pandemi. Metode virtual belum bisa menggantikan sepenuhnya bagi mereka," ucap psikolog dari Tiga Generasi tersebut beberapa waktu lalu. Salah satu hal penting, Saskhya menambahkan, adalah membangun komunikasi untuk membantu mereduksi kecemasan dan rasa bosan pada anak.
LARISSA HUDA | EKA WAHYU PRAMITA
26