Andy Yentriyani
Ketua Komnas Perempuan:
Dewan Perwakilan Rakyat telah menghapuskan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Sementara itu, hari-hari terakhir ini marak terjadi kekerasan seksual: korban pemerkosaan yang bunuh diri, korban pemerkosaan kembali diperkosa di rumah aman, dan daftar panjang kekerasan seksual lain yang didata Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga ini berusaha menjadi sandaran bagi para korban kekerasan seksual selama lebih dari dua dekade.
Mereka mendata, mengumpulkan kasus demi kasus yang jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Selain harus berjuang lebih keras dalam membela para korban, mereka sedang mengupayakan untuk memasukkan kembali RUU PKS dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021. Hal ini sangat penting untuk melindungi korban. Sebab, klausul pemerkosaan kita begitu sempit dalam hukum. “Ini yang hendak didobrak melalui RUU PKS,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani kepada Dian Yuliastuti dari Tempo di kawasan Kuningan, Jakarta, kemarin.
Dalam perbincangan itu, Yentriyani tak hanya bercerita tentang upaya mengadvokasi RUU PKS. Ia juga berbicara soal lembaga yang dipimpinnya, ratifikasi konvensi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) atau konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada 24 Juli 1984, kecintaan pada masalah sains, kartun, dan kesehariannya. Berikut ini petikannya.
Bagaimana reaksi Anda ketika RUU PKS dicabut dari Prolegna karena dibilang sulit?
Begitu dibilang sulit, saya bertanya-tanya.Tentu dibilang kecewa iya pasti. Di Komnas dan jaringan ada yang tidak bisa tidur. Saya berusaha pahami, mengajak diskusi kawan-kawan apa yang bikin sulit. Ayo inventarisir. Kami semua berharap pihak DPR punya refleksi juga tentang sulit tadi, kami sampaikan apa yang disebut sulit. Mungkin ada yang tidak melihat urgensinya.
RUU PKS ini sudah lama wacananya?
Pada 2014, digadang-gadang semua orang, termasuk kandidat calon presiden, partai pendukung, dan sejumlah calon anggota legislatif yang saat itu lintas partai memberi perhatian. Problemnya, sampai tahun ini tidak selesai dibahas dengan alasan sulit. Bagi Komnas Perempuan, wajar sulit. Sebab, tidak semua legislator yang mempunyai pengetahuan cukup tentang kekerasan seksual dan kapasitas legilasi. Belum lagi sistem politik yang bermasalah. Legislatif punya akar sistem politik Indonesia yang transaksional, bukan orang punya kapasitas, sehingga kapasitasnya beragam.
Masalah lain?
Kekerasan seksual dibingkai dalam persoalan moral. Karena itu, perempuan korban kekerasan seksual itu akan selalu dalam keraguan untuk menyampaikannya karena distigma moralitasnya. Itu hadir dalam proses dari pemeriksaan sampai pengadilan, meski sudah ada surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) bahwa hakim tidak menggunakan penghakiman kepada moralitas korban. Tapi kultur sistem hukum berbingkai kesusilaan. Jadi, kalau ada korban pemerkosaan lalu dikawinkan dengan pelaku, masih cukup sering didengar. Bingkai moralitas tetap hadir. Ada yang nyeletuk, syukur masih ada yang mengawini.
Jadi, isu moralitas juga bikin RRU ini makin sulit posisinya?
Saya pikir ini berbahaya jika legislator dan publik tidak bisa mengenali persoalan utama kekerasan seksual dan dibingkai dengan moralitas. Karena itu, menjadi sulit dan tidak akan selesai RUU itu. Padahal yang sedang dibicarakan ada kekosongan hukum terhadap perampasan rasa keamanaan melalui aktivitas seksual. Dari aspek substansi hukum, klausul pemerkosaan kita begitu sempit. Pelecehan seksual tidak punya ruang cukup dalam hukum kita. Pemerkosaan, persetubuhan, dan pencabulan definisinya tidak mencerminkan pengalaman korban. Ini yang hendak didobrak melalui RUU PKS.
Bagaimana dengan pemulihan kondisi korban?
Termasuk soal pemulihannya. Katakan korban ditangani dan pelaku dihukum maksimal. Tapi belum tentu mendapat dukungan bagi korban untuk pemulihan. Tidak ada undang-undang yang mensyaratkan dukungan pemulihan. Korban berjuang sendiri dengan keterpurukannya. Baik secara psikologis, sosial, maupun ekonomi. Trauma itu akan mengganggu seluruh kehidupannya. Belum lagi anak hasil inses. Sementara itu, data kekerasan perempuan dan seksual dalam rumah dan komunitas tetap tinggi.
Upaya pemidanaan?
Di tengah pembahasan RUU PKS, ada usulan dikebiri. Semua orang setuju, tapi ada-tidak upaya melihat pengebirian ini tidak efektif? Apakah sistem pemindanaan sudah dipelajari, dengan cara apa? Prosesnya bagaimana dan apa akan menghentikan dia melakukan itu? Belum tentu. Ketika hadirkan RUU PKS, kita melakukan analisis yang lebih sistemik. Bukan hanya tindak pidana, tapi adanya pemulihan dan hukum acara yang tidak membebani korban. Memastikan sistem pemidanaan dilakukan upaya pendidikan.
Bagaimana riwatnya RUU ini?
Komnas Perempuan memulai dengan membangun data pada 2012. Sebab, pada 1998 tidak ada data. Lalu, membuat bangunan tentang pengetahuan persoalan yang dihadapi, kenapa perempuan masih sulit akses, karena definisi, atau mungkin rule of evidence, seperti visum, saksi, dan bukti. Pada 2013, bangun kampanye besar ini masalahnya. Ada kasus kita tidak punya fondasi untuk memutus impunitas pelaku dan pemulihan korban.
Itu sebabnya proses memasukkan ke Prolegnas 2014 tidak terlalu sulit karena semua orang merasakannya. Tapi dalam perjalanannya prosesnya menjadi sulit, karena urgensi dan ruang teknokrasi hukum diserahkan ke legislator dengan beragam kapasitas dan di tengah-tengah kelompok yang memanfaatkan momentum regulasi tentang moralitas.
Ketika 2014 itu banyak dukungan terhadap RUU ini?
Tidak ada banyak persoalan. Dua kandidat, partai pengusung, dan calon-calon anggota legislatif mendukung. Itu jadi bahan politik juga.
Bagaimana dengan advokasi kemarin?
Kawan-kawan telah dan akan terus mengupayakan apa pun yang kami mampu agar RUU ini diimplementasikan.
Melobi tokoh-tokoh ?
Semampu yang dilakukan itu tadi. Kenyataan lobi seperti itu kemarin. Namun sejumlah nama tetap akan kami hubungi. Kami percaya hati kecil setiap nurani berbuat kebaikan ada di semua orang.
Ada yang berbalik dan menjadikan ini mainan politik?
Coba ditanyakan ke orangnya, saya tidak mau menebak-nebak cenayang, he-he-he.
Komnas membuat pemetaan dukungan?
Kita masih menaruh harapan, katanya akan jadi isu prioritas 2021. Tapi kalau tidak sungguh-sungguh diberikan kepada pihak yang memahami dan legislator tidak dikerangkeng dengan isu moralitas, bisa akan jadi disahkan. Harus samakan persepsi. Dalam proses kebijakan, perlu uji cermat tuntas untuk memastikan landasan filosofis sosiologis, yuridis, dan nilai yang dipenuhi benar-benar termaktub.
Apa strategi dalam waktu sesingkat ini?
Baleg sudah bilang ini akan jadi prioritas. Ini menarik. Tapi kenapa kami ditanya strategi. Ini mestinya ditanya kepada Baleg. Sebab, mereka telah keluarkan pernyataan ini, lalu apa yang mau dilakukan mereka untuk memastikan memenuhi janjinya.
Dukungan akademikus dan tokoh masyarakat kemarin belum mencukupi?
Itu tidak mencukupi, tapi itu genuine, organik diorganisasi sendiri. Jangan pikir ada think tank-nya. Organik warga Indonesia, masyarakat madani Indonesia, kelompok perempuan selalu muncul menunjukkan kepemimpinannya. Persoalan kritis ini tersuarakan dan tertangani.
Kami akan tetap berkomunikasi ke DPR, pemerintah, dan organisasi di masyarakat. Dari kelompok agamawan, akademikus, hingga kampus, semua orang bergerak. Semua persoalan kekerasan ini dihadapi di semua level.
Oh ya, bagaimana advokasi kasus pemerkosaan oleh relawan terhadap korban pemerkosaan di Rumah Aman di Lampung?
Itu harus lihat apa kasuistik atau dari SOP, atau kriteria rekruitmen itu. Jadi, persoalan struktural bukan kasuistik. Kami dorong ada review total tata kelola rumah aman. Semoga betul-betul dilaksanakan.
Secara kelembagaan, apa tantangan Komnas Perempuan ke depan?
Dari aspek kelembagaan Komnas Perempuan berdiri pada 1998, banyak yang berubah dari fase awal sampai sekarang. Ada tantangan baru dan butuh strategi baru. Komnas Perempuan, meski sudah 20 tahun, tapi tetap asing. Sebab, basisnya peraturan presiden, tidak ada undang-undang sebagai cantolan yang menyebutnya secara eksplisit. Sebenarnya, sebagai komitmen negara untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan ada UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi konvensi CEDAW. Tradisi undang-undang di Indonesia butuh disebut secara eksplisit.Contoh setelah Ratifikasi Perlindungan Anak, KPAI disebut dalam UU Perlindungan anak.
Bagaimana Anda memulai dalam urusan advokasi perempuan?
Sejak kecil punya kegelisahan sendiri, melihat teman-teman kawin muda. Di kalangan etnis Cina, kawin muda lalu dibawa ke Taiwan, menjadi istri kedua atau ketiga. Saya merasa kenapa orang-orang merasa biasa saja. Saya belum puas bermain, bercanda dengan orang tua, lalu membayangkan tiba-tiba harus punya tanggung jawab lain.
Lalu?
Perkawinan lintas negara itu jadi kajian skripsi saya, ini fenomena apa. Kok banyak yang ke sana. Ada pengalaman serupa dari Taiwan dan Korea pasca-perang. Saya pahami isu perempuan akan dipengaruhi bukan saja dari mikro keluarga, sosial-ekonomi nasional, tapi juga rezim global. Lalu peristiwa 1998 mempengaruhi secara drastis. Saya sekolah di jurusan hubungan internasioal, pengin ke luar negeri jadi diplomat. Tapi negeri ini butuh orang yang bekerja di dalam negeri, membangun fondasi sesuatu yang baru sama sekali. Dan saya beruntung bertemu orang yang berada dalam perjuangan itu. Dan sampai sekarang dan tidak disesali, ha-ha-ha.
Anda mengalami tidak bisa tidur, ditelepon tengah malam menerima pengaduan?
Ha-ha. Iya, bukan cuma korban. Kami di Komnas Perempuan tidak punya privilese untuk pesimistis, tidak punya kuasa menolak isu yang datang. Di tempat lain, bisa fokus satu isu. Tapi di sini tidak, bukan hanya masalah KDRT atau trafficking, juga konflik SDA, intoleransi agama, pengungsian dari luar, kekerasan berbasis online yang meningkat di masa Covid, hingga buruh migran. Semua hal. Semua ada. Heboh deh tiap hari, adrenalin 24 jam, 24/7 itu bener-bener.
Bagaimana untuk menghilangkan stres?
Bisa tidur itu bahagia, tertawa lepas. Tidur nyaman, tidak gantung deadline. Saya senang makan, apa saja. Enggak macem-macem. Sayur asem, ikan asin, dan sambal paling suka. Tidak butuh yang lain. Sampai yang ngangenin, pakai sambal ulek.
Masih sempat baca buku?
Kebanyakan baca laporan, pengaduan kasus, agak banyak lewat buku. Tapi sulit membatasi, terbuai di Internet. Saya gampang penasaran. Baca berita lalu dibawa ke pencarian yang berbeda total dari berita awal. Misalnya itu berita tentang masker yang ada purifier, lalu search, modelnya, perusahaanya—ini teknologi dari mana, ulik terus ke teknologi pembuatan oksigen. Saya semangat banget. Itu paling rileks buat saya yang haus informasi. Saya senang Internet. Saat punya waktu luang, baca satu artikel lalu elaborasi lagi, bahkan beda total dari berita awal. Saya senang sains. SMA di fisika, senang inovasi, hal-hal yang mustahil. Atau juga ada pencarian kartun, kok bisa gambar seperti itu.
Anda senang kartun, siapa tokoh kartun atau komik idola?
Aku suka Calvin and Hobbes, ha-ha-ha...(panjang). Banyak kartun komik yang genius.
Selama pandemi, bagaimana kegiatan Anda?
Selama WFH, saya tidak tahu lagi sampai lupa di mana isu apa. Teralienasi. Setiap hari webinar dari jam delapan sampai 11 malam. Sudah lima bulan tidak punya Sabtu-Minggu. Kalau ada yang minta webinar Sabtu-Minggu, saya sampai mohon-mohon tidak ikut. Tapi memang tidak terbayang.
Anda pernah merasa lelah?
Saat 2014 aku sempat merasa pesimistis, keluar dari Komnas Perempuan dengan sangat lelah. Saya masuk di lembaga ini sejak 2000 jadi badan pekerja, lalu masuk jadi Komnas periode 2010-2014, lalu keluar. Pada 2014-2020 ada di luar, baru masuk lagi 2020-2024. Saat di luar itu benar-benar itu juga kesempatan mengurai burn out dan pemulihan. Makanya, begitu masuk, saya menerapkan strategi berbeda. Sekarang saya berusaha matikan HP pukul 24.00, tutup buku atau laporan. Kalau jam segitu belum tidur, bisa melek sampai jam tiga dan enggak tidur.
Andy Yentriyani: Klausul Pemerkosaan di Indonesia Begitu Sempit