PERNAHKAH bermain game membuat Anda syok, tercenung, dan bengong berlama-lama? The Last of Us Part II, yang dirilis serentak di seluruh dunia pada hari ini, sangat mungkin membuat Anda begitu.
Ada dua penyebabnya. Pertama, kematian demi kematian. Naughty Dog, pengembang game ini, menggambarkan setiap mortalitas secara kelewat detail, bahkan di setiap keroco yang harus pemain eksekusi di perjalanan. Tidak hanya lewat visual, tapi juga audio berupa jeritan atau napas yang terputus-putus.
Efek kematian terasa lebih berat saat menimpa karakter yang kita sukai. Sulit mencari padanannya dalam game. Perasaan ngilu serupa bisa Anda rasakan saat pertama menonton Saving Private Ryan karya Steven Spielberg pada 1998 atau saat Glenn Rhee tewas dalam serial televisi The Walking Dead, tiga tahun lalu.
Penyebab kedua sebagian besar pemain akan tercenung setelah menamatkan The Last of Us Part II adalah pikiran yang teraduk-aduk. Sutradara Neil Druckmann menjungkirbalikkan emosi pemain dengan menghapus pembagian peran antagonis dan protagonis. Tidak ada jagoan-musuh. Itu juga berlaku bagi Ellie Williams, yang menjadi tokoh utama.
Untuk bisa menyelami semesta yang diciptakan Naughty Dog, pemain kudu memainkan The Last of Us. Jalinan cerita menjadi kekuatan utama produk eksklusif Sony PlayStation yang menjadi Game of the Year 2013 itu.
Berlatar di Amerika Serikat pada 2033, The Last of Us mengisahkan Joel Miller, 49 tahun, penyelundup yang mengantar seorang bocah dari Boston ke Salt Lake City di Amerika Serikat. Ellie, anak 14 tahun itu, dianggap bisa menjadi pintu bagi penemuan vaksin cordyceps—virus yang melumpuhkan dunia dengan mengubah orang yang terjangkit menjadi zombie—sejak 2013. Dari yang awalnya gontok-gontokan, setelah mengarungi 3.800 kilometer dalam empat musim—dirangkum dalam 18 jam permainan—hubungan Joel dan Ellie berakhir menjadi layaknya ayah dan anak. Joel, orang tua tunggal yang kehilangan putri semata wayangnya pada awal pandemi, memilih menyelamatkan Ellie ketimbang kehilangan bocah itu untuk mendapatkan vaksin yang dapat menolong umat manusia.
Latar dalam sekuel—Druckmann memilih menggunakan "Part II" dengan inspirasi dari trilogi The Godfather karya Francis Ford Copolla—adalah lima tahun setelah game pertama. Joel dan Ellie tinggal di Jackson, Wyoming, dan melebur dengan komunitas di kota yang terlindungi dari serangan zombi itu. Ellie punya geng remaja seumuran dan kekasih, sementara Joel makin akrab dengan adiknya, Tommy. Masalah muncul setelah delapan milisi asal Seattle, Washington, menyusup dan membunuh seorang warga Jackson. Ellie terpukul dan bertekad membalas kematian tersebut.
Ini yang membuat The Last of Us Part II berkebalikan dari seri pertamanya. "The Last of Us bercerita tentang cinta dan hal-hal gila yang orang lakukan demi cinta," kata Pladidus Santoso, editor dalam situs web game Jagat Play. "The Last of Us Part II bercerita tentang kebencian dan hal-hal gila yang orang lakukan karenanya."
Dendam mendorong Ellie, bocah konyol yang suka ngomong jorok di prekuel, berubah menjadi mesin pembunuh. Situs web game berpengaruh, Polygon, melontarkan kritik keras soal kekerasan tanpa henti dalam game ini. Namun komentar negatif itu dengan cepat terkubur dengan penilaian hampir sempurna oleh puluhan media dan kritikus lain. IGN, misalnya, memberi ponten 10 dari 10 dan menyebutnya sebagai masterpiece dari segi cara bermain, storytelling, dan penggambaran latar yang disesuaikan dengan keadaan aslinya.
Untuk memahami dendam kesumat itu, sutradara Druckmann mengajak pemain sepenuhnya "menyelami isi kepala Ellie". Alur cerita dibuat maju-mundur. Perburuan di Seattle dijahit dengan cuplikan kenangan di Jackson, seolah-olah menjadi justifikasi atas kekerasan yang Ellie lakukan.
Naughty Dog membongkar paradigma soal protagonis dan antagonis dalam game ini. Konsep "menyelami isi kepala Ellie" dikontradiksikan dengan menyelami isi kepala karakter lain. Dengan pertimbangan non-spoiler, kami hanya bisa menyebutnya sebagai "Perempuan misterius yang muncul di trailer TLOU2 Paris Game Week 2017".
Karakter baru ini membuat pemain dapat melihat semesta The Last of Us dari luar sudut pandang Joel dan Ellie. Akibatnya, tidak ada lagi hitam dan putih. "Dari kacamata Ellie dan Joel, milisi Washington Liberation Front adalah orang jahat," kata Pladidus. "Tapi, dari konteks dunia The Last of Us, mereka sekadar kelompok yang ingin bertahan hidup."
Pembolakbalikkan perspektif ini sebenarnya bukan hal baru. Detroit: Become Human yang dirilis pada 2018, misalnya, juga menyajikan cerita dari sudut pandang yang kontradiktif: manusia dan Android. Namun porsinya lebih banyak ke sisi Android.
Rivaldo Santosa, pendiri kanal game The Lazy Monday, mengatakan baru kali ini ada game yang menyeret-nyeret perasaannya untuk menyukai satu karakter, membencinya, lalu menyukainya lagi. Itu berlaku baik bagi tokoh yang sudah kita kenal selama tujuh tahun maupun orang baru. "Itu hasil kejeniusan Naughty Dog," ujar Aldo, panggilannya.
Biasanya, pemain akan langsung memainkan ulang game yang dia sukai. Namun, bagi saya, kebiasaan itu tidak berlaku dalam The Last of Us Part II. Terlalu berat untuk re-run sekarang. Mungkin bulan-bulan depan.
REZA MAULANA
The Last of Us Part II
Platform: PlayStation 4
Pengembang: Naughty Dog
Penerbit: Sony Interactive Entertainment
Rilis: Jumat, 19 Juni 2020
Genre: Petualangan aksi
Jumlah pemain: Tunggal
Batasan umur: Khusus dewasa
Ukuran file: 77,32 gigabita
Harga: Dari Rp 829 ribu