Membicarakan urusan seksualitas kepada anak usia dini bisa menjadi hal yang sangat rumit bagi orang tua. Terutama ihwal cara membungkus percakapan ini agar bisa dimengerti anak dan terasa tidak vulgar. Karena itu, orang tua perlu menemukan cara yang tepat, termasuk materi apa saja yang perlu disampaikan.
Wakil Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Heri Sutanto mengatakan orang tua bisa menjelaskan soal seksualitas kepada anak secara proporsional sesuai dengan usia mereka. “Anak usia 3-5 tahun tak perlu dijelaskan soal masturbasi. Jelaskan soal kebersihan diri. Itu tidak lepas dari alat kelamin, tapi sesuai dengan porsinya,” kata Heri, dalam webinar yang diadakan PKBI, kemarin.
Ia menambahkan, komunikasi mengenai seksualitas harus berbasis ilmu, dan di dalam ilmu pengetahuan, tidak ada hal vulgar. Konsultan kesehatan seksual dan reproduksi ini menyampaikan bahwa orang tua harus memulai pendidikan seksual kepada anak usia dini dengan metode bertanya.
Heri mencontohkan, anak usia 4-5 tahun terkadang senang memainkan alat kelaminnya dan merasa nyaman akan hal itu. Nah, orang tua bisa menanyakan alasan anak memainkan alat kelaminnya. Sebab, belum ada orientasi seksual di benak anak pada usia itu dan mereka hanya merasa nyaman akan apa yang dilakukannya tersebut.
Menurut Heri, orang tua harus memulai pembicaraan dengan anak melalui kepekaan atas perilaku anak dan emosinya. Ia menilai anak akan menunjukkan kekhasan di dalam perilakunya. Namun, sebelum melakukan itu, orang tua harus memastikan dirinya bisa menjadi pendengar yang baik untuk anak.
Ia menambahkan, tidak ada aturan baku siapa yang berkewajiban memberikan pendidikan seksual kepada anak. Anak laki-laki, kata dia, tidak harus diajari pendidikan seksual oleh ayahnya dan begitu juga sebaliknya pada anak perempuan. “Ini soal pesan itu sampai atau tidak kepada anak. Bukan soal siapa yang harus menyampaikan,” ujar dia.
Heri menyatakan, jika anak memiliki konsep yang salah ihwal organ reproduksinya, akan ada dampak di masa depan. Misalnya, jika orang tua menyatakan kepada anak bahwa bagian selangkangan adalah bagian tubuh yang kotor, anak akan menganggapnya seperti itu sampai dewasa. “Mungkin ada orang yang enggan membersihkan darah menstruasinya lantaran merasa organ reproduksinya dan semua yang keluar adalah kotor. Itu salah satu konsep.”
Selain itu, pemahaman yang salah dapat berujung pada kekerasan seksual oleh anak kepada orang lain. Heri mencontohkan, jika orang tua mengatakan bahwa organ intim lelaki merupakan bukti kejantanan seorang pria, anak itu bisa saja tumbuh menjadi pelaku kekerasan seksual demi menunjukkan kejantanannya. “Harus berhati-hati dengan konsep yang disampaikan kepada anak,” ucap Heri.
Manajer Klinik dan dokter pelaksana ProCare Clinic PKI DKI Jakarta, Teza Farida, mengatakan orang tua harus menghindari bahasa bias yang bisa menyebabkan anak bingung ketika berbicara soal seksualitas. Hal ini sering terjadi ketika orang tua mengganti nama organ kelamin laki-laki dan perempuan dengan hal lain.
Teza mengatakan, meski belum mengerti soal seksualitas, anak usia 1-2 tahun sudah mengerti apa yang disampaikan orang tua. Orang tua dapat menyampaikan kepada anak usia ini bahwa organ kelamin berfungsi membuang air kecil. Untuk anak usia 3-5 tahun, orang tua dapat mengajarkan cara merawat organ reproduksi anak.
Begitu anak sudah mengetahui organ reproduksinya, orang tua dapat menjelaskan ihwal rahim kepada anak jika mereka bertanya mengenai bagaimana bayi bisa muncul. “Jelaskan saja seterbukanya dan sebenar-benarnya,” ucap Teza dalam webinar yang sama.
Teza melanjutkan, orang tua dapat menggunakan media seperti boneka atau celemek kesehatan reproduksi untuk menjelaskan fungsi reproduksi kepada anak. Namun, seumpama merasa bingung, orang tua dapat berkonsultasi kepada ahli yang berpengalaman di bidang ini.
Trainer di PKBI DKI Jakarta, Lismayani, menambahkan, prinsip dalam menyampaikan pelajaran seksualitas kepada anak harus disesuaikan dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia mengimbau agar orang tua mencari referensi yang benar sebelum membicarakannya kepada anak. “Harus terus belajar dan bersikap kritis terhadap informasi (yang ada).”
DIKO OKTARA