Ezy, 34 tahun, seorang guru sekolah menengah pertama di Depok, sedikit kerepotan ketika harus membagi waktu untuk mengerjakan tugasnya di rumah karena wabah corona. Sambil menggarap penugasan untuk muridnya, ia pun harus membimbing putrinya yang baru berusia 6 tahun. “Pekerjaan rumah banget jadi guru TK di rumah,” ujarnya.
Mila, seorang jurnalis, juga sedang bekerja di rumah sambil membimbing putranya yang masih TK. Ia harus memastikan tugas putranya selesai sambil mengerjakan tugas penyuntingannya. Suaminya kebetulan tetap bekerja di kantor. Meski sedikit repot, ia tetap menyelesaikan semuanya.
Sementara itu, Endah, 40 tahun, pekerja swasta di Jakarta yang juga sedang bekerja di rumah, tak terlalu repot harus mendampingi dua putranya yang sudah SD dan SMA. Sejak pagi, ia sudah memasak untuk memastikan anaknya tak kelayapan minta jajanan keluar. Selanjutnya ia bisa meneruskan menyelesaikan tugas-tugas dari kantornya.
Aneka keluhan berseliweran di grup aplikasi pesan. Para orang tua mengeluhkan harus menjadi guru dadakan untuk anak-anak mereka yang diberikan banyak tugas. Anak-anak pun stres terhadap pelajaran online dan banyaknya tugas. Belum lagi masalah teknis terkait dengan aplikasi belajar yang belum dikuasai, jaringan Internet, hingga mereka harus berpacu pada sinyal dan tugas.
Kebijakan bekerja dan belajar di rumah pada saat wabah seperti ini sedikit-banyak membawa dinamika bagi keluarga yang menjalaninya. Jika tak dikelola dengan baik, akan rentan menimbulkan tekanan psikologis.
Psikolog keluarga dari Klinik Terpadu Keluarga Universitas Indonesia, Anna Surti Ariani, menuturkan kebijakan bekerja di rumah memang mempunyai dinamika tersendiri dan berbeda pada tiap keluarga. Hal ini bergantung pada komposisi keluarga dan usia anggota keluarga, dari yang punya bayi, balita, anak, remaja, hingga lanjut usia.
Dinamikanya pun bisa dilihat dari jenis pekerjaan ayah dan ibu. “Sebenarnya tidak ada formula khusus. Justru dari kondisi ini keluarga harus mencapai keseimbangan baru dalam situasi baru seperti ini,” ujar Nina, sapaannya, kepada Tempo.
Ia pun menuturkan, dengan situasi baru tersebut, ketika orang tua bekerja dari rumah, anak akan lebih nempel atau manja, sehingga dibutuhkan strategi khusus dan trik untuk mengelolanya. Beruntung jika si anak sudah bisa mandiri dan punya tugas atau jadwal yang telah tersusun dari sekolahnya. Orang tua tinggal mengecek dan menyiapkan perangkat teknisnya.
Strategi agar bekerja dari rumah bisa lebih efektif dapat diupayakan dengan beberapa hal. Hal pertama adalah pengelolaan tempat. Penting untuk menentukan area untuk bekerja, ruang bermain, atau ruang tidur. Ia mengingatkan agar tidak bekerja di ruang tidur. “Agar kamar tidur tetap sakral untuk istirahat saja,” ujarnya. Jadi ruang kerja bisa menggunakan ruang makan atau ruang tamu, lalu ditata agar nyaman untuk bekerja.
Kedua, perlu dikomunikasikan kepada anak, terutama yang masih kecil, bahwa orang tuanya bekerja. Misalnya dengan mengatakan kepada mereka, “Kalau ayah atau ibu mulai buka laptop atau berada di tempat itu, berarti ayah atau ibu sedang bekerja.” Hal ini akan memberikan pengertian dan kepastian kepada si anak.
Penting juga mengelola waktu sekaligus mengkomunikasikannya kepada anggota keluarga, kolega, partner, atau rekan di kantor dan klien. Misalnya, membuat kesepakatan waktu bekerja mulai pukul 08.00 hingga 12.00, lalu beristirahat. Kemudian mulai bekerja lagi pukul 14.00, misalnya. Mereka bisa menentukan rapat pula dalam waktu yang disepakati sehingga lebih efektif.
Nina juga menyarankan untuk memberi pengertian tentang waktu kerja ini kepada anak yang masih kecil atau balita. Hal itu bisa dilakukan dengan memasang tanda tertentu, misalnya syal atau selendang merah, di pintu ruang atau dekat tempat kerja. Jika tanda itu masih terpasang, artinya ayah atau ibu masih bekerja.
Selain itu, penting untuk menyiapkan perangkat teknis bagi anak-anak supaya belajar, misalnya aplikasi. Hal ini sangat efektif untuk menyelesaikan pekerjaan atau waktu belajar anak-anak. Ia juga mengingatkan agar saat rapat daring lebih dulu disiapkan dan disampaikan kepada anggota keluarga dan rekan kerja. Misalnya, mereka diingatkan untuk tidak berlalu-lalang atau meminta pemakluman kepada rekan kerja jika sesekali harus meninggalkan rapat karena ada anak kecil atau orang sakit yang butuh dibantu.
Berikutnya, Nina menyarankan untuk realistis menetapkan hasil atau target pekerjaan sesuai dengan kondisi yang ada. Tugas, materi, atau pekerjaan apa yang harus diprioritaskan harus diatur sehingga segala sesuatunya lebih terkendali. Dengan demikian, bekerja dari rumah pun bisa lebih efektif, efisien, terhindar dari stres, dan nyaman.
DIAN YULIASTUTI