Membuat resolusi tahun baru seolah-olah menjadi tradisi yang dilakukan banyak orang setiap menjelang pergantian tahun. Resolusi yang populer dibuat antara lain: mengubah pola hidup menjadi lebih sehat, berdiet, lebih sering berolahraga, atau berhenti merokok. Pada bulan-bulan awal tahun, para pembuat resolusi itu mungkin akan bersemangat menjalankan "janji kepada dirinya sendiri" itu. Tapi apakah mereka bisa konsisten?
"Tidak semudah yang dikira," kata Muhamad Norman, 33 tahun, karyawan sebuah perusahaan pengolahan makanan di Jakarta. Pada pergantian 2018 menuju 2019, Norman berjanji menghentikan kebiasaan merokok. Tapi, alih-alih langsung berhenti, ia mengganti rokok konvensional menjadi rokok elektrik (vape). Sebetulnya, sampai bulan ketiga, ia berhasil menjalankan resolusinya itu. Tapi lama-kelamaan ia merasa jemu dengan rasa vape yang terlalu ringan. "Jadi, gue balik ke rokok biasa lagi," ujar dia.
Namun kegagalan menjalankan resolusi tahun baru juga bukan hal aneh. Bahkan banyak penelitian yang menyebutkan bahwa janji tahun baru sangat mudah dilanggar oleh pembuatnya. Sebuah studi di Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 1989 mencoba mengukur keberhasilan resolusi tahun baru 200 responden, seperti berhenti merokok atau menurunkan berat badan. Sepekan setelah tahun baru, hasilnya cukup mengesankan, yakni 77 persen peserta berhasil dengan resolusi mereka. Namun, dua tahun kemudian, tingkat keberhasilan tinggal 19 persen.
Penelitian lain, yang menyangkut resolusi hidup sehat, dilakukan tim dari Cornell University New York pada Juli 2010-Maret 2011. Mereka memetakan perubahan kebiasaan setiap tahun baru dengan melacak kebiasaan belanja makanan pada 207 rumah tangga. Para peneliti menemukan bahwa selama periode liburan, pengeluaran meningkat 15 persen. Tiga perempat di antaranya terjadi pada barang-barang kurang sehat. Setelah tahun baru, pola belanja dan konsumsi berubah. Penjualan barang-barang sehat justru melonjak 29,4 persen.
Uniknya, dalam penelitian tersebut terungkap bahwa peningkatan penjualan barang-barang "sehat" itu tidak sejalan dengan dorongan menjalani gaya hidup lebih sehat. Meski mereka membeli barang-barang lebih bergizi, mereka masih membeli makanan tidak sehat dalam jumlah sama. Padahal, menurut para peneliti, kunci agar resolusi sukses adalah berfokus pada penggantian barang yang tidak sehat dengan yang sehat, bukan membeli keduanya.
Dari beberapa penelitian itu, para peneliti kemudian mencari tahu apa yang membuat sebagian orang berhasil dan konsisten menjalankan resolusinya. Dalam studi Pennsylvania yang disebutkan sebelumnya, para ilmuwan bertanya kepada peserta mengenai teknik apa yang mereka gunakan untuk membantu menjaga resolusi mereka dan seberapa sering mereka menerapkannya.
Mereka menemukan bahwa orang yang paling sukses menjalankan resolusinya (resolver) menerapkan kontrol stimulus dengan baik. Misalnya, seseorang yang berhenti merokok mungkin menyimpan foto anak kecil mereka di dekatnya untuk mengingatkan mereka tentang alasan berhenti merokok. Para peneliti juga menyatakan bahwa motivasi yang kuat untuk berhenti merokok sangat penting untuk keberhasilan awal dan jangka panjang.
Studi lain yang menyelidiki penghentian merokok secara lebih umum mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan berhenti, seperti menjauh dari lingkungan perokok, tidak minum alkohol, teknik manajemen stres, dan menjaga motivasi diri.
Walau resolusi tahun baru sering dianggap "omong kosong", dari sejumlah penelitian ditemukan bahwa orang-orang yang membuat janji tahun baru punya peluang untuk berhasil mencapai keinginan mereka (berhenti merokok, berdiet, lebih sering berolahraga, dan lain-lain), ketimbang mereka yang tidak membuat resolusi.
Jadi, meskipun Anda kerap membuat resolusi tahun baru dan kerap pula melupakannya, peluang Anda untuk berhasil mengubah kebiasaan menjadi lebih baik tetap besar. Membuat resolusi tahun baru, menurut penelitian di Pennsylvania, "Meningkatkan peluang Anda menghasilkan perubahan lebih dari 10 kali lipat."
MEDICAL NEWS | PRAGA UTAMA