Sering-seringlah mengajak anggota keluarga curhat-mencurahkan isi hati atau berbagi cerita. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, Fidiansjah, mengatakan membicarakan masalah yang dihadapi anggota keluarga bermanfaat mencegah bunuh diri. "Biasakan kegiatan curhat dan berbagi cerita di keluarga. Lewat berbagi, kita bisa memperhatikan tanda-tanda (anggota keluarga mengalami masalah mental)," ujar Fidianjah kepada Tempo, Senin lalu.
Fidiansjah mengatakan tidak ada bunuh diri yang dilakukan mendadak karena selalu diiringi berbagai pertanda yang muncul dari korban, yang sering terabaikan oleh keluarga. Karena itu, kata dia, perlu ada upaya untuk memperhatikan kondisi kesehatan jiwa seseorang dan perlu digalakkan upaya untuk membicarakan masalah yang dihadapi. "Salah satu kesalahan besar yang sering terjadi adalah ketika ada orang membicarakan masalah yang dihadapi, lawan bicaranya malah menasihatinya. Padahal orang yang bercerita hanya perlu didengarkan," kata dia.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day) yang jatuh tiap 10 September, ada satu orang yang melakukan bunuh diri tiap 40 detik. Meski mengkhawatirkan, angka tersebut mengalami penurunan dibanding sebelumnya.
Setiap tahun, hampir 800 ribu orang di dunia meninggal akibat bunuh diri. Menurut WHO, bunuh diri adalah penyebab kematian nomor dua pada orang berusia 15-29 tahun. Nomor satunya adalah kecelakaan di jalan. "Setiap kematian adalah tragedi bagi keluarga, teman, dan kolega. Bunuh diri dapat dicegah," ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, melalui keterangan pers, 9 September lalu.
Banyak bunuh diri terjadi karena tekanan hidup, seperti masalah keuangan, putus cinta, dan sakit kronis. Berdasarkan data pada 2016, lebih dari 79 persen kasus bunuh diri global terjadi di negara berpenghasilan rendah dan sedang. Sementara itu, hubungan antara bunuh diri dan gangguan mental umumnya terjadi di negara berpenghasilan tinggi.
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan, diketahui prevalensi gangguan emosional penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi dari Riskesdas 2013 yang berada di angka 6 persen menjadi 9,8 persen pada Riskesdas 2018.
Dari data Riskesdas ini, perempuan memiliki kerentanan mengalami gangguan mental emosional dibanding laki-laki. Dilihat dari tingkat pendidikan, mereka yang tidak atau belum pernah sekolah juga cenderung lebih rentan mengalami gangguan mental emosional dibanding mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi.
Begitu juga dalam hal pekerjaan. Mereka yang tidak bekerja lebih rentan terhadap gangguan mental. Jika dilihat dari faktor tempat tinggal, justru mereka yang tinggal di pedesaan lebih rentan mengidap gangguan mental dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan.
Menurut Fidiansjah, data mengenai masyarakat pedesaan dan perkotaan masih perlu dieksplorasi lebih lanjut. Ia mengatakan mereka yang tinggal di perkotaan memiliki akses yang lebih baik dengan sumber daya yang lengkap.
Fidiansjah menjelaskan, masyarakat di desa memiliki masalah dalam keterbatasan akses kesehatan dan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Jadi, wajar bila angka gangguan mental emosional lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. "Kalau di perkotaan, masalah kesehatan jiwa cepat tertolong dan cepat teratasi," ujar dia.
Fidiansjah menuturkan penyebab orang mengakhiri hidup dengan bunuh diri beragam. Bisa saja berasal dari faktor biologis, psikologis, sosial dan budaya, serta spiritualisme. Keempat faktor ini berbeda-beda dampaknya pada tiap orang. Ia mengungkapkan faktor ekonomi termasuk faktor sosial-budaya. "Terdorong kehidupan yang konsumtif, tapi dia orang enggak punya. Akhirnya mengakhiri hidup."
Rentang usia yang rawan adalah 15-45 tahun. Menurut Fidiansjah, usia 15 tahun ke atas adalah waktu ketika seseorang mencapai realitas yang harus disesuaikan dengan harapannya. Sedangkan pada usia 45 tahun ke atas, seseorang dianggap sudah mapan secara emosional karena telah melewati fase rawan dan memiliki banyak pengalaman dalam mengarungi kehidupan.
Solusinya, menurut Kementerian Kesehatan, adalah melakukan pendekatan yang dimulai dari keluarga. Pendekatannya memakai siklus kehidupan yang dimulai ketika ibu hamil. Sejak dalam fase ibu hamil, kata Fidiansjah, sudah terjadi kerawanan. Misalnya, ketika kehamilan itu tidak diinginkan, sang ibu bisa melahirkan anak yang berpotensi tidak disayanginya. "Dia melahirkan, tapi (anaknya) ditelantarkan. Itu bunuh diri juga perlahan-lahan," tutur dia. DIKO OKTARA
Curhat Bermanfaat Cegah Bunuh Diri