Sejumlah pemimpin di bidang bisnis mempercayai diri mereka sudah cukup kompeten dalam menjalankan perusahaan. Padahal terdapat sejumlah perilaku yang tanpa disadari berdampak negatif bagi orang yang mereka pimpin. Perilaku itu berada di area yang biasa disebut sebagai blind spot atau titik buta.
Titik buta adalah aspek apa pun dari diri Anda yang tak Anda ketahui tapi justru disadari oleh orang lain. Titik buta pada atasan ini, seperti yang ditunjukkan oleh survei Dale Carnegie berjudul “Global Leadership Study” pada 2017, diyakini akan mempengaruhi kinerja perusahaan ataupun organisasi.
Survei ini menggunakan metode online webbased survey dan melibatkan 4.400 karyawan tetap dari 17 negara. Responden yang terlibat mulai dari karyawan tingkat terendah sampai direktur dari berbagai perusahaan dan jenis industri. Mereka berasal dari rentang usia 22 hingga 61 tahun.
Dale Carnegie merupakan lembaga pelatihan yang didirikan pada 1912 di Amerika Serikat untuk pengembangan kompetensi bisnis. Lembaga ini membuka cabang di Indonesia pada 1976.
Director of National Marketing Dale Carnegie Indonesia, Joshua Siregar, mengatakan terdapat empat perilaku titik buta seorang pemimpin. Pertama adalah minimnya pemimpin memberi apresiasi. Kedua, mengakui ketika salah lalu bersungguhsungguh mendengarkan. Dan terakhir, jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Empat perilaku positif itu tak pernah ia ketahui.
Joshua menuturkan kepemimpinan efektif punya dua ukuran, yaitu kepuasan karyawan dan loyalitas karyawan. Dari survei ini diketahui secara global terdapat 61 persen karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya saat ini dan 20 persen yang tak puas. Sisanya tak menjawab. Di Indonesia, angkanya menjadi 65 persen merasa puas dan 11 persen tidak puas.
Kendati begitu, dalam soal loyalitas, 33 persen karyawan di Indonesia mengaku sedang mencari pekerjaan lain saat ini atau berencana mencari pekerjaan lain dalam waktu setahun ke depan. “(Kepuasan dan loyalitas) ini kami jadikan tolok ukur, faktor apa yang dilakukan atau tak dilakukan oleh pemimpin,” ujar Joshua saat ditemui Rabu lalu di kawasan Sudirman, Jakarta.
Sekitar 51 persen karyawan di Indonesia mengaku lebih termotivasi memberikan yang terbaik kepada perusahaannya jika memiliki pemimpin yang memuji ketika ia membuat kemajuan dalam pekerjaannya. Sisanya, merasa lebih menyukai jika kemajuannya diakui melalui sesuatu yang lebih tangible, seperti uang atau benda.
Selain itu, 84 persen karyawan di Indonesia mengaku lebih termotivasi memberikan yang terbaik bagi perusahaannya jika memiliki pemimpin yang mendorong dia lebih maju lagi. Sisanya memilih memiliki atasan yang tak banyak mengeluh ihwal pekerjaannya.
Survei itu juga menelaah ihwal perilaku atasan yang dinilai penting oleh karyawan dalam memotivasi dia bekerja. Hasilnya adalah karyawan ingin lebih dihargai opininya, diberi apresiasi yang tulus, dan didorong untuk bisa mengekspresikan idenya.
Studi itu, kata Joshua, memaparkan pentingnya seorang atasan memiliki keandalan eksternal dan internal yang dapat meningkatkan kepercayaan karyawan. Keandalan eksternal mengacu pada perilaku pemimpin yang jujur dan dapat dipercaya saat berhadapan dengan orang lain. Kejujuran dianggap penting bagi karyawan di Indonesia karena motivasi kerja yang dimiliki bisa meningkat 41 kali lipat. Sebaliknya, atasan yang tidak pernah jujur akan membuat 64 persen bawahannya mengundurkan diri dalam waktu satu tahun.
Area Director Dale Carnegie Indonesia, Stephen Siregar, mengatakan minimnya pemimpin yang konsisten berperilaku jujur akan mempengaruhi kinerja karyawan. Ia melihat para atasan sebaiknya mulai mengetahui titik buta mereka dan membuat karyawan merasa termotivasi dan terinspirasi. “Sehingga muncul keinginan melakukan yang terbaik guna mencapai tujuan perusahaan,” tuturnya.
Keandalan internal mengacu pada pemimpin yang konsisten dalam berbicara dan bertindak sesuai dengan prinsip serta keyakinan mereka. Hanya 35 persen karyawan di Indonesia yang menilai atasan mereka selalu konsisten dalam berbicara dan bertindak sesuai dengan prinsip serta keyakinannya. Ketika para atasan konsisten dalam berbicara dan bertindak, karyawan akan lebih termotivasi dalam bekerja.
Menurut Joshua, dengan menyadari adanya titiktitik buta, pemimpin dapat melihat dengan lebih baik kesenjangan antara perilaku aktual dan perilaku yang diharapkan oleh karyawan. Para atasan, kata Joshua, yang secara aktif mengidentifikasi titiktitik buta dan belajar mengatasinya memiliki potensi besar untuk mempengaruhi kepuasan kerja dari bawahan mereka serta dapat berinteraksi dengan lebih baik.
Lebih lanjut, Joshua mengatakan kecakapan pemimpin dalam mengatasi titiktitik buta itu merupakan tuntutan dari generasi milenial. Sebab, perusahaan harus bisa menyesuaikan diri serta belajar memberi apresiasi. Jika perusahaan tak berubah, efeknya tidak akan ada regenerasi di tim perusahaan.
Survei juga menunjukkan sebanyak 46 persen karyawan berusia 2230 tahun di Indonesia sedang mencari pekerjaan baru atau cenderung akan mencari pekerjaan baru. Sebanyak 19 persen yang berada di rentang usia itu juga merasa tidak puas dengan pekerjaannya saat ini. Joshua menyatakan kondisi ini bisa membuat performa perusahaan makin turun jika diisi karyawan yang berusia kian tua. “Mereka akan kalah bersaing dengan perusahaan yang memiliki tim berusia muda,” ucap Joshua. DIKO OKTARA