JAKARTA - Tren kenaikan harga jual batu bara sejak awal tahun ini diperkirakan masih akan berlanjut hingga kuartal kedua 2021. Kondisi tersebut membuka peluang bagi perusahaan batu bara untuk menambah produksi.
Tren kenaikan itu tampak dari harga batu bara acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tiap bulannya. Nilai HBA dihitung dari rata-rata empat indeks harga batu bara dunia, yaitu Indonesia Coal Index, Newcastle Export Index, Globalcoal Newcastle Index, dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya.
Sejak perdagangan dibuka pada awal tahun dengan nilai US$ 75,84 per ton, harga jual batu bara konsisten berada di kisaran US$ 80 per ton selama tiga bulan setelahnya. Pada bulan ini, Kementerian Energi menetapkan HBA sebesar US$ 86,68 per ton atau naik 2,6 persen dari bulan sebelumnya. Nilai HBA pada 2021 meningkat dibanding tahun lalu yang berada di kisaran US$ 50 per ton.
Juru bicara Kementerian Energi, Agung Pribadi, menyatakan kenaikan HBA dipicu oleh ketegangan yang kembali terjadi antara Australia dan Cina. "Larangan tidak resmi atas impor batu bara asal Australia menyebabkan produksi dan logistik Tiongkok ikut terganggu," ujarnya dalam keterangan tertulis. Kenaikan HBA juga didukung meningkatnya permintaan dari Jepang.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia, Hendra Sinadia, berujar kenaikan harga di berbagai indeks dunia disebabkan oleh rendahnya produksi pada kuartal pertama. Di dalam negeri, proses produksi terhambat musim hujan. Beberapa tambang terendam banjir sehingga kesulitan beroperasi. Ekspor batu bara Australia juga tersendat lantaran jalur kereta api untuk mengirim komoditas ini terendam banjir.
Hendra memperkirakan produksi dalam negeri pada kuartal kedua belum akan maksimal. Pasalnya, curah hujan masih lebat di sejumlah daerah. Pada Mei mendatang, kegiatan produksi di beberapa tambang akan terpengaruh datangnya Ramadan serta libur Idul Fitri. "Mungkin harga masih akan membaik di April dan Mei, tapi kemudian akan tertekan lagi," tuturnya. Alasannya, dia menambahkan, tren permintaan akan menurun pada kuartal III, sementara produksi meningkat. Namun, di pengujung tahun, masih terdapat harapan dari tibanya musim dingin di negara-negara importir.
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Aceh Barat, Aceh, 8 Juli 2020. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Terlepas dari gejolak pasokan dan permintaan, Hendra optimistis pada tahun ini harga jual batu bara akan lebih baik ketimbang tahun lalu. Saat pandemi mulai merebak pada 2020, Cina dan India, sebagai importir terbesar batu bara, sempat menghentikan pembelian. Kegiatan ekonomi telah kembali berjalan sejak akhir tahun lalu.
Hendra mengatakan, tak sedikit perusahaan batu bara yang memanfaatkan momentum kenaikan harga batu bara untuk mengajukan tambahan produksi. "Ada beberapa perusahaan yang akan mengajukan rencana kerja dan anggaran belanja (RKAB)," katanya.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk, Dileep Srivastava, menyatakan perusahaannya tak ikut mengajukan tambahan produksi. Menurut dia, Bumi akan mempertahankan target produksi yang telah ditetapkan di awal tahun. "Target produksi kami di 2021 tetap 85-90 juta ton," tuturnya. Jumlah tersebut naik 3-9 persen dibanding realisasi 2020 yang sebesar 82 juta ton.
Dileep bertutur, penentuan tingkat produksi tak hanya bergantung pada harga jual. Perusahaan, tuturnya, juga mempertimbangkan faktor lain, seperti biaya, pengiriman, jumlah cadangan, standar efisiensi, hingga datangnya pandemi.
Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk, Febriati Nadira, mengatakan perusahaan tidak dapat mengontrol harga batu bara. Menurut dia, Adaro memilih berfokus pada upaya peningkatan keunggulan operasional bisnis inti, efisiensi dan produktivitas operasi, menjaga kas, dan mempertahankan posisi keuangan. Tahun ini, Adaro menargetkan produksi batu bara sebanyak 52-54 juta ton.
VINDRY FLORENTIN